DINASTI BUWAIHI
DISUSUN
OLEH :
Masfufah (10420018)
Dosen
Pembimbing
PADILA,
S.S.,M.Hum
FAKULTAS ADAB
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
IAIN RADEN FATAH PALEMBANG
2012-2013
PENDAHULUAN
A. DINASTI
BUWAIHI (945 – 1055 M)
Pada
masa pemerintahan Bani Abbasiyah, terdapat dinasti-dinasti kecil, di antaranya
Dinasti Buwaihi. Dinasti ini meruakan bagian dari sejarah perdaban Islam yang
pernah berkuasa di Irak. Keberadaan dan kekuasaannya akan memberikan citra
terhadap perkembangan peradaban Islam masa lalu dan memberikan inspirasi bagi
generasi berikutnya. Kekuasaan Dinasti Buwaihi yang beraliran Syi’ah menjadikan
Baghdad sebagai pusat pemerintahannya dengan membangun gedung tersendiri yang
diberi nama Darul Mamlakah. Setelah mengalami masa kemajuan, akhirnya Dinasti
Buwaihi mengalami kejatuhan ketika dirampas oleh Bani Saljuk.[1]
Ada
beberapa riwayat tentang asal-usul Dinasti Buwaihi.
Pertama: Buwaihi
berasal dari keturunan seorang pembesar yaitu Menteri Mahr Nursi.
Kedua: Buwaihi
adalah keturunan Dinasti Dibbat, suatu dinasti di Arab.
Ketiga: Buwaihi
adalah keturunan raja Persi.
Keempat: Buwaihi
berasal dari nama seorang laki-laki miskin yang bernama Abu Syuja’ yang hidup
dinegeri Dailam.[2]
Negeri yang terletak di Barat Daya Laut Kaspia dan telah tunduk pada kekuasaan
Islam sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Buwaihi atau Abu Syuja’ mempunyai tiga orang
anak laki-laki, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Ketiganya menjadikan lapangan
ketentaraan sebagai mata pencaharian, dan telah bergabung dengan tentara Makan
bin Kali, salah seorang panglima terkenal di negeri Dailam. Mereka telah
membuktikan kecakapannya di dalam melaksanakan tugas masing-masing.
Pemerintahan Buwaihi didasarkan pada sistem
kekeluargaan, yang satu sama lain saling mengakui daerah kekuasaan
masing-masing, termasuk daerah yang dikuasai oleh saudara tertua, Ali yang
telah menguasai Isfahan ketika Mardawij terbunuh dan tak lama kemudian seluruh
Fars. Hasan menguasai Provinsi Ray dan Jibal, sedangkan yang paling muda
menguasai wilayah pantai selatan yaitu Provinsi Kirman dan Khuzistan.
Pada saat itu, keadaan di Baghdad semakin
buruk. Golongan mamalik dan Amir-amir Umara’ tidak berhasil menjalankan
pemerintahan dengan baik. Pada tahun 334 H, panglima-panglima Baghdad telah
menulis surat kepada Ahmad bin Buwaih supaya datang ke Baghdad dan mengambil
kekuasaan. Ahmad telah menanggapi permintaan itu, dan khalifah Abbasiyah telah
mengeluk-elukkannya serta menjadikannya Amir Umara dengan gelar Mu’iz
ad-Daulah, saudaranya, Ali, diberi gelar Imad ad-Daulah, dan Hasan, diberi
gelar Rukn ad-Daulah. Beberapa waktu kemudian khalifah-khalifah Abbasiyah telah
tunduk kepada Bani Buwaih, dan nasib dunia Islam berkaitan dengan golongan yang
baru berkuasa itu. Sehingga pada zaman tersebut, khalifah tidak mempunyai
kekuasaan dan pengaruh lagi.[3]
Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah dan kesulitan
kontak dengan wilayah propinsi menyebabkan disintegrasi pemerintahan tersebut.
Di samping itu, sistem pemerintahan Buwaihi yang disandarkan pada kekuasaan
militer, memudahkan untuk menguasai Baghdad, bersamaan dengan menurunnya
kekuatan militer di pemerintahan pusat.
PEMBAHASAN
A. KEMAJUAN
PADA MASA DINASTI BUWAIHI
Pemerintahan Dinasti Buwaihi periode pertama
dipegang oleh Mu’iz ad-Daulah. Sejak zaman ini, otoritas kepemimpinan seorang
khalifah sangat terbatas. Namun Buwaihi tidak berusaha melenyapkan
kekhalifahan. Keberadaan khalifah hanya sebagai simbol untuk mendapat simpati
publik. Serta mengakui sebuah ide bahwa hak mereka untuk memerintah bergantung
pada kebahasaan khalifah.
Pada
masa ini mulai diperbaiki kerusakan-kerusakan yang diderita Baghad dari
kerusuhan-kerusuhan selama belasan tahun terakhir. Atas keberhasilan memulihkan
situasi ini, Al-Mustakfi menyerahkan kekuasaan keuangan pemerintahan kepada
Mu’iz, dan nanti namanya dicetak pada mata uang logam.
Mu’izz
menurunkan Al-Mustakfi dari singgasana dan menggantinya dengan Al-Muti’ yang
memang sebelumnya telah menjadi saingan Al-Mustakfi. Tindakan ini lebih
didasari atas keinginan untuk lebih menguasai pemerintahan, karena dalam hal
ini Al-Mustakfi tidak sejalan dengan Mu’izz.
Mu’izz
memerintah lebih dari dua puluh tahun. Sementara saudara-saudaranya di timur
memperluas daerah kekuasaan. Pada tahun 952 M, suatu usaha dari kaum Qaramithah
dan Omani untuk merebut Basrah, dipukul mundur oleh tentara Buwaihi.[4]
Pada
pemerintahan Adud ad-daulah mulai dilakukan upaya-upaya persatuan atas wilayah
kekuasaa Irak, Persia Selatan dan Oman. Dinasti Buwaihi periode ini telah
menjalankan suatu kebijakan yang sangat ekspansionis, di Barat terhadap
Hamdaniyah al-Jazirah dan Zijariyyah Thabaristan, Samanniyah Khurasan. Pada
pemerintahan Adud ad-Daulah inilah Dinasti Buwaihi di Baghdad mengalami masa
keemasan, sebagai pusat dari pemerintahan Baghdad, Adud ad-Daulah berhasil
mempersatukan semua penguasa Buwaihiyah.
Pemerintahan
Adud ad-Daulah sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan berbagai disiplin
ilmu. Kedekatannya dengan para ilmuwan saat itu menjadikan loyalitas mereka
terhadap pemerintahan sangat tinggi. Istana pemerintahan pernah dijadikan
sebagai tempat pertemuan para ilmuwan saat itu.[5] Bahkan
pada masa itu dibangun rumah sakit terbesar, yang terdiri dari 24 orang dokter,
dan digunkana juga sebagai tempat praktek mahasiswa kedokteran saat itu.
Sebagai
penganut Syi'ah Dua Belas, Dinasti Buwaihi banyak menghidupkan syiar Syi'ah.
Kendati mereka berbuat demikian, Khalifah Abbasiyah tetap dibiarkan meneruskan
kepemimpinan simbolis bagi Umat Islam. Di antara tindakan penguasa Buwaihi yang
menguntungkan kelompok Syi'ah ialah pengadaan upacara keagamaan Syi'ah secara
publik, pendirian pusat-pusat pengajaran Syi'ah di berbagai kota, termasuk
Baghdad, dan pemberian dukungan terhadap para pemikir dan penulis Syi'ah.
Memang masa kekuasaan Dinasti Buwaihi adalah bersamaan dengan bermulanya masa
"ketidak hadiran agung" (al-ghaibah al-kubra) Imam ke-12. Dan saat
itu pula terjadi kristalisasi penting dalam periode pembentukan madzhab Syi'ah.
Periode
Buwaihi diwarnai dengan kegiatan penulisan. Parapemikir penting, di samping
pakar-pakar teori Syi’ah, sempat menuliskan ide-ide mereka. Bahkan Ibnu Sina (w
1037 M / 428 H), seorang filosof dan dokter diberi kepercayaan menjadi wazir
oleh Syamsud Daulah (w. 1021 M / 412 H) yang berkuasa di Isfahan. Tercatat pula
serentetan penulis kenamaan dari berbagai disiplin ilmu, umpamanya Ibnu
an-Nadim (w. 995 M / 385 H), seorang ensiklopedis dengan bukunya al-Fihris;
Ibnu Miskawaih (w. 1030 M / 421 H), seorang filosof sejarawan menulis Tajarib
al-Umam; Abu al-Farah al-Isfahani (w. 967 M / 356 H), seorang sejarwan sastrawan
menulis al-Agani; dan Abu al-Wafa an-Nasawi, pakar matematik, memperkenalkan
system angka India ke dalam Islam. Di samping itu, berbagai aktivitas ilmiah
dan kemausiaan juga digalakkan dengan dibangunnya peneropong bintang dan
rumah-rumah sakit di berbagai kota.
Sebagaimana
telah dimulai pada masa-masa awal Dinasti Buwaihi dalam memperbaiki kerusakan
perekonomian yang beberapa dekade sebelumnya mengalami kehancuran, berupa
melakukan perbaikan beberapa saluran irigasi dan mengambil tanah-tanah yang
ditinggalkan pemiliknya. Sistem administrasi keuangan sangat berkaitan erat
dengan organisasi militer, seperti juga pada periode Muiz pertama kali
berkuasa. Pemerintahan Adud didasarkan pada metode-metode birokratik perpajakan
dan sejumlah pembayaran untuk kebutuhan istana dan militer. Staf pemerintahan
pusat mengumpulkan pendapatan negara dari daerah-daerah kekuasaan dan membayar
pejabat dan tentara yang mengabdi kepada negara secara kontan dengan pembayaran
di muka. Konsep ini lazimnya disebut dengan distribusi iqtha’, yaitu sebuah
mekanisme untuk mensentralisasikan pengumpulan dan pengeluaran atas pendapatan
negara dan pada dasarnya hak tanah iqtha’ hanya diberikan berdasarkan syarat
pengabdian militer, dan hanya berlaku sebatas kehidupan orang yang sedang
menjabat.
Kepiawaian
Bani Buwaihi mengundang perhatian Al-Mustakfi salah satu khalifah Dinasti
Abasiyah untuk menyelesaikan konflik internal yang sering terjadi dikalangan
luar maupun dalam istana yang sering terjadi konflik baik itu antar etnis
maupun konflik antar kalangan istana
sendiri. Sehingga Al-Mustakfi menggunakan tentara bayaran salah satunya Bani
Buwaihi tetapi akhirnya Bani Buwaihi mampu mengambil simpati Khalifah untuk
memberikan jabatan kepada salah satu Dinasti Buwaihi yaitu Ahmad Ibn Buwaihi
menjadi komandan perang (amir-al-umara) dan berkuasa sekitar 7 tahun (334-356
H/945-967 M) dan diberi gelar Mu’iz al-Dawlat dan ia ternyata lebih berpengaruh
dan khalifah berada di bawah kendali mereka,[6]
bahkan bukan kepada Ahmad saja ternyata kedua saudara Buwaihi yang lain
al-Mustakfi juga memberikan kewenangan untuk menguasai sebagian wilayah
Abbasiyah misalnya Ali Ibn Buwaihi dan Hasan Ibn Buwaihi.
B. KEMUNDURAN
PEMERINTAHAN DAN AKHIR DINASTI BUWAIHI
Sepeninggal
Mu’iz ad-Dawlat Dinasti Buwaihi dilanda konflik. Faktor-faktor yang menjadi
penyebab mundurnya pemerintahan Buwaihi, diantaranya adalah :
1. Konflik
internal dimana perebutan kekuasan didalam tubuh dinasti Buwaihi menyebkan
kemunduran misalnya; perebutan kekuasaan antara Baha, Syaraf, dan saudara
ketiga mereka Shamsham ad- Dawlat yang memperebutkan penerus mereka
selanjutnya. Konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan Diansti Buwaihi pada
masa-masa awal, tidak bisa dibina lagi pada masa-masa selanjutnya. Hal ini
menyebabkan Konflik antar anggota keluarga menjadikan lemahnya pemerintahan di
pusat.
2. Sistem
pemerintahan yang semula didasarkan pada kekuatan militer, belakangan
diorganisir menjadi sebuah rezim yang lebih setia terhadap pimpinan mereka atas
kekayaan dan kekuasaan dari pada setia terhadap negara.
3. Pertentangan
antara aliran-aliran keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa Dinasti Buwaihi
adalah penyebar madzhab Syi’ah yang sungguh bersemangat, di balik kebanyakan
rakyat Baghdad yang bermadzhab sunni. Pertentangan tersebut pada periode awal
Dinasti tidak begitu nampak, terutama pada masa Adud ad-Daulah, kemudian mulai
menajam kembali dan mengalami puncak pada akhir Dinasti Buwaihi di Baghdad. Hal
ini disebabkan sewaktu kekhalifahan Abbasiyah pimpinan Al-qodir (991-1031)
memimpin peperangan antar syi’ah dan suni ia menggemborkan Hanbalisme sebagai
mazhab resmi negara.
4. Kekalahan
telak dari Kaum Saljuk yang berakibat jatuhnya pemerintahan Dinasti Buwaihi ke
tangan Tughril Beg, yang sekaligus mengakhiri masa pemerintahan Dinasti
Buwaihi.
5. Bizantium
yang mulai melakukan serangan-serangan kembali ke dunia islam.[7]
Malik
Abd al-Rahim sebagai dinasti terakhir dari Bani Buwaihi menderita kekalahan
atas Tugril Bek. Malik Abd al-Rahim (1048-1055) akhirnya dipenjara dan
mengakhiri hidupnya dalam kurungan. Selanjutnya Dinasti Buwaihi berkahir dan
Tugril Bek salah satu keturunan Bani Saljuk bekerja sama dengan Khalifah
Dinasti Bani Abbas.[8]
Bagaimanapun
keberhasilan Dinasti Buwaihi memang tidak bertahan lama. Sejak kematian Adud
ad-Daulah pada tahun 983 M (372 H) keutuhan keluarga Buwaihi mengalami erosi
dan perpecahan. Ide kerjasama yang dikembangkan generasi pertama rupanya tidak
mengakar, cabang-cabang keluarga tidak puas dengan otonomi yang dinikmati
bahkan ada yang menginginkan kekuasaan tunggal atas seluruh wilayah Buwaihi.
Mungkin tendensi demikian merupakan perkembangan natural dari upaya
individu-individu Buwaihi dalam menghadapi perubahan dan tantangan eksternal.
Misalnya, pada perempat akhir abad ke-10, Dinasti Fatimiyah telah muncul
sebagai ancaman langsung terhadap pengaruh Buwaihi di barat dan selatan. Di
Persia dan Arabia Timur ancaman masing-masing datang dari Samaniyah kemudian
Gaznawiyah dan Qaramitah.
Juga
posisi wilayah Buwaihi yang strategis bagi perdagangan antara timur dan barat
serta selatan dan utara, kemudian telah dilemahkan oleh politik perdagangan
Fatimiyah yang agresif lewat Laut Merah. Peranan Teluk Persia yang pernah
dominan menjadi semakin pudar. Kurang berkembangnya pertanian akibat sistem
perpajakan yang tidak efisien dan eksploitatif, serta turunnya volume
perdagangan jelas melemahkan sistem ekonomi Dinasti Buwaihi. Pada gilirannya
kelemahan politik, ekonomi, sosial dan militer telah memudahkan bagi
kekuatan-kekuatan baru seperti para pemimpin lokal, dan Gaznawiyah kemudian Saljuk
untuk merebut kekuasaan. Ray dan Jibal diduduki Mamud al-Gaznawi (1029/420 H);
Fars diambilalih pemimpina Kurdi, Fadluyah (1056/448 H) dan Baghdad oleh Tugril
Beg (1055/447 H).[9]
C.
HASIL PERADABAN
DI BUWAIHI
1. Pembangunan
rumah sakit Bimaristan al-Adhudi yang memiliki 24 tenaga medis dan rumah sakit
ini dijadikan pusat studi kedokteran. Rumah Sakit ini didirikan pada tahun 978
M. Pembangunan rumah sakit tersebut menelan biaya 100.000 dinar.
2. Pembangunan
Sekolah-sekolah di Syiraz, Rayy, dan Isfahan.
3. Pembangunan
Observatorium di Bagdad.
4. Gerakan
penterjemahan.
Pada
saat Adud memimpin menetapkan dua cara pemilihan menteri-menteri yaitu: pertama
kemampuan manajerial, kedua kemampuan retorika oleh karena wajar bila pada saat
itu menteri-menteri pandai dalam sastra. Pada masa itulah muncul sejumlah pakar
yang hingga kini masih ada diantaranya.
a. Ibnu
Sina : Filosof dan pernah menjadi hakim pada Dinasti Buwaihi.
b. Ibn
Maskawih, pakar sejarah dan kemudian menjadi filosof dengan karyanya yang
sangat terkenal Hayy Ibn Yaqjan.
c. Istakhri
; ahli ilmu bumi.
d. Nasarwi
; pakar matematika yang memperkenalkan angka india sehingga matematika
berkembang pesat.
e. Al-Kharizmi;
ahi matematika bidang al-jabar.
f. Ibn
Haistam (al-Hazen 1039) pemilik teori cahaya yang lebih sempurna dibanding
teori cahaya sebelumnya yang dibangun oleh Euclid dan Ptolemius[10].
g. Para
Penyair seperti al-Muntanabbi, Abu Ali al-farisi yang mereka membuat
karya-karya yang dipersembahkan untuk Adud.
Dalam
menciptakan perdamaian Adud bekerja sama dengan seorang wazir Kristen yang cukup
terampil, Nashr Ibn Harun, yang atas otoritasnya dari khalifah mendirikan dan
memperbaiki sejumlah gereja dan biara.[11]
Sebagaimana
telah dimulai pada masa-masa awal dinasti Buwaihi dalam memperbaiki kerusakan
perekonomian yang beberapa dekade sebelumnya mengalami kehancuran, setelah
perekonomian pulih Adud melakukan perbaikan-perbaikan seperti :
Ø perbaikan
irigasi dan mengambil tanah-tanah yang ditinggalkan pemiliknya.
Ø Staf-staf
Negara mengumpulkan pendapatan Negara dari daerah-daerah kekuasaan dan membayar
pejabat dan tentara yang mengabdi pada Negara secara kontan dengan pembayaran
di muka.
Konsep
ini lazimnya disebut distribusi Iqtha’ yaitu sebuah mekanisme untuk
mensentralisasikan pengumpulan dan pengeluaran atas pendapatan Negara dan pada
dasarnya hak tanah Iqtha’ hanya diberikan berdasarkan syarat pengabdian militer
dan hanya berlaku sebatas kehidupan orang yang sedang menjabat.[12] Dibawah
kendali Adud pulalah dia berhasil mempersatukan kembali kerajaan-kerajaan kecil
yang sudah muncul sejak periode kekuasan Buwaihi di Persia dan Irak, sehingga
membentuk satu Negara yang besarnya menyerupai Imperium.[13]
Teladan
yang diperlihatkan Adud ad-Dauwlat diperlihatkan oleh putranya Syaraf ad-Dawlat
(983-989) yaitu dengan membangun Observatorium terkenal putra Adud yang lain
yaitu Baha ad-Dawlat (989-1012) menjatuhkan khalifah al-Tha’I karena merasa iri
melihat khalifah memilki kekayaan yang sangat luar biasa. Disamping itu
al-Tha’I memiliki seorang wazir cerdas berkebangsaan Persia yakni Sabur Ibn
Ardsyir yang mampu membangun sebuah perpustakaan lengkap yang menyimpan 10.000
buku. Pada saat itulah Dinasti Buwaihi menuju kehancuran yang disebabkan
pertikaian kalangan keluarga yaitu, Baha, Syaraf dan saudara ketiga mereka
Shamsham ad- Dawlat yang mempermasalahkan penentuan penerus mereka.[14]
D. PERISTIWA-PERISTIWA
PENTING
Selama
masa pemerintahan Dinasti Buwaihi, ada beberapa peristiwa penting yang tercatat
dalam sejarah, yaitu :
1. Baghdad
dan Siraz
Kedudukan
Baghdad sebagai ibu kota dari segi politik dan agama. Di zaman Dinasti Buwaihi,
Baghdad telah kehilangan kepentingannya dari segi politik yang mana telah
berpindah ke Syiraz, tempat bermukimnya Ali bin Buwaih yang bergelar Imad
ad-Daulah. Pengaruh Baghdad dari segi agama juga semakin pupus, disebabkan
perselisihan madzhab di antara khalifah-khalifah dari Dinasti Buwaihi.
Pertikaian ini telah melumpuhkan sama sekali pengaruh rohaniah yang selama ini
dinikmati oleh khalifah.
2. Ikhwanus
Shafa
Di
zaman ini muncul kumpulan ikhwanus shafa yang mengamalkan berbagai falsafah dan
hikmah yang dikatakan bersumber dari mereka.
3. Negeri-negeri
yang Memisahkan Diri
Semasa
berada di puncak kekuasaan, Dinasti Buwaihi telah menyatukan kembali sebagian
wilayah Islam yang telah memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasiah
Tetapi ketika kekuasaan Dinasti Buwaihi mulai merosot, banyak pula kerajaan
yang memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasiah, di antaranya ialah
kerajaan Imran bin Syahin di Batinah, kerajaan Najahiyah di Yaman, kerajaan ‘Uqailiyah
di Mausil, kerajaan Kurd di Diar Bakr, kerajaan Mirdasiyah di Aleppo, kerajaan
Samaniyah di seberang sungai dan di Khurasan dan kerajaan Saktikiyah di
Ghaznah.
4. Perselisihan
Madzahab
Ajaran
Islam tiba di Dailam melalui kaum Syi’ah yang diwakili oleh Hasan bin Zaid,
kemudian oleh al-Hasan bin Ali al-Atrusy. Sedangkan masyarakat Baghdad ketika
itu beraliran sunni. Terlebih ketika Khlaifah al-Qadir berusaha menentang faham
syi’ah.[15]
KESIMPULAN
Bani
Buwaihi yang awal kehidupannya miskin dan tinggal di sebuah pesisir Laut Kaspia
menjadi sebuah klan yang mampu menguasai sebuah kekhalifahan besar dunia. Hal
ini pada mulanya adalah system pemerintahan yang dilaksankan oleh bani Buwaihi
atas dasar kekeluargaan yang akhirnya mencapai sebuah peradaban yang dianggap
cukup maju, selain itu ada segelintir amir al-umara yang sadar akan pentingnya
ilmu pengetahuan yang akhirnya pada masa ini Adud ad-Dawlat berkuasa mencapai
klimaknya. Para sejarawan berpendapat apabila membangun sebuah Negara yang
diiringi dengan pembangunan kultur masyarakat maka dipastikan Negara itu akan
dapat mencapai peradaban yang tinggi. Dibuktikan oleh Dinasti Buwaihi
Pembangunan Fisik diiringi juga dengan pendirian mesjid, sekolah, sarana ilmu
pengetahuan; perpustakaan, observatorium yang memang pada saat itu kultur
masyarakatnya sedang membutuhkan dan bergeliat dalam hal tersebut.
Hancurnya
sebuah Negara bukan diawali oleh bangsa lain tetapi kehancuran itu sebenarnya
dilakukan oleh dirinya sendiri; itulah ungkapan yang mungkin dapat menjelaskan
keruntuhan Dinasti Buwaihi. Percekcokan dikalangan amir al-umara sendirilah
yang memulainya kehancuran dimana pertiakaian Baha, Syaraf dan saudara ketiga
mereka Shamsham ad- Dawlat yang mempermasalahkan penentuan penerus mereka.
Sehingga Dinasti tersebut mulai melemah dan dimanfaatkan oleh pihak lain untuk
melepaskan diri dan berusaha untuk menggulingkan kepemimpinan mereka, misalnya
kedatangan Bani Saljuk atas undangan khalifah yang ternyata mengakhiri
kekuasaan dinasti Buwaihi dalam kekhalifahan Abbasiyah.
Demikianlah
sekilas tentang keberadaan dan kekuasaan Dinasti Buwaihi pada masa kekhalifahan
Abbasiyah. Buwaihi yang merupakan salah satu Dinasti yang menguasai daerah
Asfahan, Syiraz dan Kirman di Persia. Baghdad pun mereka kuasai sampai tahun
1055 M. Khalifah Bani Abbas tetap diakui, tetapi kekuasaan dipegang oleh
penguasa-penguasa Buwaihi. Akhirnya kekuasaan Buwaihi dirampas oleh Dinasti
Saljuk.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas
Sirajudin, I’tiqod Ahlus Sunnah
Waljama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah,1979, cet.ke-1.
Ahmad
Al-‘Usairy , Sejarah Islam. Jakarta :
Akbar Media, 2010. Cet. Ke 1.
Ali
Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab.
Jakarta :Logos. 1997.
A
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3.
Jakarta: Pustaka Alhusan.1993.
Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam dirasah
islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2004.
Harun
Nasution, 1985. Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya. Jakarta : UI Press.
Harun
Nasution (ed.), Ensiklopedi Islam. Jakarta
: Djambatan, 1992.
Hasan
Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
Yogyakarta: Kota Kembang,1997.
Jaih
Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung:
Pustaka Islamika. 2008, cet. Ke.I.
J.A,
Boyle, History Of Iran, Cambridg: The
University Press, 1968, Vol. 5.
Joel
L. Kraemer, Renaisance Islam, terj. Asep
saefullah, Bandung: Mizan 2003.
Lapidus,
Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta :
PT Raja Grafindo, 1985.
M
Fahsin Faal, Sejarah Kekuasaan Islam,
Jakarta: CV Artha Rivera, 2008, cet. Ke-1.
Philip
K Hitti, The History of Arabs.
Jakarta: Serambi Ilmu.202. cet. Ke-1.
Sou’yb
Joeseof, Sejarah Daulah Abbasiyah II,
Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Quraish
Shihab et.al.,Sejarah dan Ulumul Qur’an,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, cet ke-4.
HASIL
PERADABAN DI BUWAIHI
DISUSUN
OLEH
MASHFUFAH :
10 42 0018
MATA
KULIAH : SPI (KWS, TURKI DAN ASIA TENGAH)
DOSEN
PEMBIMBING
PADILA
M. HUM
FAKULTAS
ADAB DAN HUMANIORA
“SEJARAH
KEBUDAYAAN ISLAM. A”
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN
FATAH
PALEMBANG
2012/2013
[1]file:///C:/Documents%20and%20Settings/User/My%20Documents/Downloads/Fakhrunnur%20Thaha%20%20DINASTI%20BUWAIHI%20(945%20%E2%80%93%201055%20M).htm.
[2] Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam dirasah
islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2004 , hal 53-54.
[3]
http://id.scribd.com/doc/76703527/Makalah-Buaihi.
[4]
Ibid, http://id.scribd.com/doc/76703527/Makalah-Buaihi. hal. 2.
[5]
http://kliksosok.blogspot.com/2007/08/dinasti-buwaihi-928-1008-m-kebangkitan.
[6]
Mubarok, Jaih, M.Ag, Sejarah
Peradaban Islam,(Bandung: Pustaka Islamika.2008), cet. Ke-1, hlm 169.
[7]
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam
dirasah islamiyah II, hal, 54.
[8] Watt, W. Montgomery dalam Prof. Dr Jaih
Mubarok M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Ilmu,2008), cet. Ke-1,
hal 174.
[9]Syalabi, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, hal. 204.
[10] Atsir, Ibn dalam Prof.Dr Jaih Mubarok, Sejarah
Peradaban Islam(Bandung: Pustaka Ilmu.2008), cet.ke-1, hal. 171.
[11] Miskawayh dalam Phillip K. Hitti, History
of Arabs (Jakarta: serambi Ilmu,2002), cet.ke1. hal.600.
[12] Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (
Jakarta : PT Rja Graphindi, 1985) hal. 231.
[13] K. Hitti, Phillip, History of Arabs
(Jakarta: serambi Ilmu,2002), cet.ke1. hal.599.
[14] Atsir, Ibn, dalam Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban
Islam(Bandung: Pustaka Ilmu.2008), cet.ke-1, hal. 171.
[15]
Joeseof, Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah
II, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar