Senin, 12 Mei 2014

DINASTI BUWAIHI

DINASTI BUWAIHI



DISUSUN OLEH :


Masfufah (10420018)

Dosen Pembimbing

PADILA, S.S.,M.Hum


FAKULTAS ADAB
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
IAIN RADEN FATAH PALEMBANG
2012-2013





PENDAHULUAN

A.    DINASTI BUWAIHI (945 – 1055 M)
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, terdapat dinasti-dinasti kecil, di antaranya Dinasti Buwaihi. Dinasti ini meruakan bagian dari sejarah perdaban Islam yang pernah berkuasa di Irak. Keberadaan dan kekuasaannya akan memberikan citra terhadap perkembangan peradaban Islam masa lalu dan memberikan inspirasi bagi generasi berikutnya. Kekuasaan Dinasti Buwaihi yang beraliran Syi’ah menjadikan Baghdad sebagai pusat pemerintahannya dengan membangun gedung tersendiri yang diberi nama Darul Mamlakah. Setelah mengalami masa kemajuan, akhirnya Dinasti Buwaihi mengalami kejatuhan ketika dirampas oleh Bani Saljuk.[1]
Ada beberapa riwayat tentang asal-usul Dinasti Buwaihi.
Pertama:          Buwaihi berasal dari keturunan seorang pembesar yaitu Menteri Mahr Nursi.
Kedua:            Buwaihi adalah keturunan Dinasti Dibbat, suatu dinasti di Arab.
Ketiga:            Buwaihi adalah keturunan raja Persi.
Keempat:         Buwaihi berasal dari nama seorang laki-laki miskin yang bernama Abu Syuja’ yang hidup dinegeri Dailam.[2] Negeri yang terletak di Barat Daya Laut Kaspia dan telah tunduk pada kekuasaan Islam sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Buwaihi atau Abu Syuja’ mempunyai tiga orang anak laki-laki, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Ketiganya menjadikan lapangan ketentaraan sebagai mata pencaharian, dan telah bergabung dengan tentara Makan bin Kali, salah seorang panglima terkenal di negeri Dailam. Mereka telah membuktikan kecakapannya di dalam melaksanakan tugas masing-masing.
Pemerintahan Buwaihi didasarkan pada sistem kekeluargaan, yang satu sama lain saling mengakui daerah kekuasaan masing-masing, termasuk daerah yang dikuasai oleh saudara tertua, Ali yang telah menguasai Isfahan ketika Mardawij terbunuh dan tak lama kemudian seluruh Fars. Hasan menguasai Provinsi Ray dan Jibal, sedangkan yang paling muda menguasai wilayah pantai selatan yaitu Provinsi Kirman dan Khuzistan.
Pada saat itu, keadaan di Baghdad semakin buruk. Golongan mamalik dan Amir-amir Umara’ tidak berhasil menjalankan pemerintahan dengan baik. Pada tahun 334 H, panglima-panglima Baghdad telah menulis surat kepada Ahmad bin Buwaih supaya datang ke Baghdad dan mengambil kekuasaan. Ahmad telah menanggapi permintaan itu, dan khalifah Abbasiyah telah mengeluk-elukkannya serta menjadikannya Amir Umara dengan gelar Mu’iz ad-Daulah, saudaranya, Ali, diberi gelar Imad ad-Daulah, dan Hasan, diberi gelar Rukn ad-Daulah. Beberapa waktu kemudian khalifah-khalifah Abbasiyah telah tunduk kepada Bani Buwaih, dan nasib dunia Islam berkaitan dengan golongan yang baru berkuasa itu. Sehingga pada zaman tersebut, khalifah tidak mempunyai kekuasaan dan pengaruh lagi.[3]
Luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah dan kesulitan kontak dengan wilayah propinsi menyebabkan disintegrasi pemerintahan tersebut. Di samping itu, sistem pemerintahan Buwaihi yang disandarkan pada kekuasaan militer, memudahkan untuk menguasai Baghdad, bersamaan dengan menurunnya kekuatan militer di pemerintahan pusat.







PEMBAHASAN

A.    KEMAJUAN PADA MASA DINASTI BUWAIHI
Pemerintahan Dinasti Buwaihi periode pertama dipegang oleh Mu’iz ad-Daulah. Sejak zaman ini, otoritas kepemimpinan seorang khalifah sangat terbatas. Namun Buwaihi tidak berusaha melenyapkan kekhalifahan. Keberadaan khalifah hanya sebagai simbol untuk mendapat simpati publik. Serta mengakui sebuah ide bahwa hak mereka untuk memerintah bergantung pada kebahasaan khalifah.
Pada masa ini mulai diperbaiki kerusakan-kerusakan yang diderita Baghad dari kerusuhan-kerusuhan selama belasan tahun terakhir. Atas keberhasilan memulihkan situasi ini, Al-Mustakfi menyerahkan kekuasaan keuangan pemerintahan kepada Mu’iz, dan nanti namanya dicetak pada mata uang logam.
Mu’izz menurunkan Al-Mustakfi dari singgasana dan menggantinya dengan Al-Muti’ yang memang sebelumnya telah menjadi saingan Al-Mustakfi. Tindakan ini lebih didasari atas keinginan untuk lebih menguasai pemerintahan, karena dalam hal ini Al-Mustakfi tidak sejalan dengan Mu’izz.
Mu’izz memerintah lebih dari dua puluh tahun. Sementara saudara-saudaranya di timur memperluas daerah kekuasaan. Pada tahun 952 M, suatu usaha dari kaum Qaramithah dan Omani untuk merebut Basrah, dipukul mundur oleh tentara Buwaihi.[4]
Pada pemerintahan Adud ad-daulah mulai dilakukan upaya-upaya persatuan atas wilayah kekuasaa Irak, Persia Selatan dan Oman. Dinasti Buwaihi periode ini telah menjalankan suatu kebijakan yang sangat ekspansionis, di Barat terhadap Hamdaniyah al-Jazirah dan Zijariyyah Thabaristan, Samanniyah Khurasan. Pada pemerintahan Adud ad-Daulah inilah Dinasti Buwaihi di Baghdad mengalami masa keemasan, sebagai pusat dari pemerintahan Baghdad, Adud ad-Daulah berhasil mempersatukan semua penguasa Buwaihiyah.
Pemerintahan Adud ad-Daulah sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan berbagai disiplin ilmu. Kedekatannya dengan para ilmuwan saat itu menjadikan loyalitas mereka terhadap pemerintahan sangat tinggi. Istana pemerintahan pernah dijadikan sebagai tempat pertemuan para ilmuwan saat itu.[5] Bahkan pada masa itu dibangun rumah sakit terbesar, yang terdiri dari 24 orang dokter, dan digunkana juga sebagai tempat praktek mahasiswa kedokteran saat itu.
Sebagai penganut Syi'ah Dua Belas, Dinasti Buwaihi banyak menghidupkan syiar Syi'ah. Kendati mereka berbuat demikian, Khalifah Abbasiyah tetap dibiarkan meneruskan kepemimpinan simbolis bagi Umat Islam. Di antara tindakan penguasa Buwaihi yang menguntungkan kelompok Syi'ah ialah pengadaan upacara keagamaan Syi'ah secara publik, pendirian pusat-pusat pengajaran Syi'ah di berbagai kota, termasuk Baghdad, dan pemberian dukungan terhadap para pemikir dan penulis Syi'ah. Memang masa kekuasaan Dinasti Buwaihi adalah bersamaan dengan bermulanya masa "ketidak hadiran agung" (al-ghaibah al-kubra) Imam ke-12. Dan saat itu pula terjadi kristalisasi penting dalam periode pembentukan madzhab Syi'ah.
Periode Buwaihi diwarnai dengan kegiatan penulisan. Parapemikir penting, di samping pakar-pakar teori Syi’ah, sempat menuliskan ide-ide mereka. Bahkan Ibnu Sina (w 1037 M / 428 H), seorang filosof dan dokter diberi kepercayaan menjadi wazir oleh Syamsud Daulah (w. 1021 M / 412 H) yang berkuasa di Isfahan. Tercatat pula serentetan penulis kenamaan dari berbagai disiplin ilmu, umpamanya Ibnu an-Nadim (w. 995 M / 385 H), seorang ensiklopedis dengan bukunya al-Fihris; Ibnu Miskawaih (w. 1030 M / 421 H), seorang filosof sejarawan menulis Tajarib al-Umam; Abu al-Farah al-Isfahani (w. 967 M / 356 H), seorang sejarwan sastrawan menulis al-Agani; dan Abu al-Wafa an-Nasawi, pakar matematik, memperkenalkan system angka India ke dalam Islam. Di samping itu, berbagai aktivitas ilmiah dan kemausiaan juga digalakkan dengan dibangunnya peneropong bintang dan rumah-rumah sakit di berbagai kota.

Sebagaimana telah dimulai pada masa-masa awal Dinasti Buwaihi dalam memperbaiki kerusakan perekonomian yang beberapa dekade sebelumnya mengalami kehancuran, berupa melakukan perbaikan beberapa saluran irigasi dan mengambil tanah-tanah yang ditinggalkan pemiliknya. Sistem administrasi keuangan sangat berkaitan erat dengan organisasi militer, seperti juga pada periode Muiz pertama kali berkuasa. Pemerintahan Adud didasarkan pada metode-metode birokratik perpajakan dan sejumlah pembayaran untuk kebutuhan istana dan militer. Staf pemerintahan pusat mengumpulkan pendapatan negara dari daerah-daerah kekuasaan dan membayar pejabat dan tentara yang mengabdi kepada negara secara kontan dengan pembayaran di muka. Konsep ini lazimnya disebut dengan distribusi iqtha’, yaitu sebuah mekanisme untuk mensentralisasikan pengumpulan dan pengeluaran atas pendapatan negara dan pada dasarnya hak tanah iqtha’ hanya diberikan berdasarkan syarat pengabdian militer, dan hanya berlaku sebatas kehidupan orang yang sedang menjabat.
Kepiawaian Bani Buwaihi mengundang perhatian Al-Mustakfi salah satu khalifah Dinasti Abasiyah untuk menyelesaikan konflik internal yang sering terjadi dikalangan luar maupun dalam istana yang sering terjadi konflik baik itu antar etnis maupun konflik  antar kalangan istana sendiri. Sehingga Al-Mustakfi menggunakan tentara bayaran salah satunya Bani Buwaihi tetapi akhirnya Bani Buwaihi mampu mengambil simpati Khalifah untuk memberikan jabatan kepada salah satu Dinasti Buwaihi yaitu Ahmad Ibn Buwaihi menjadi komandan perang (amir-al-umara) dan berkuasa sekitar 7 tahun (334-356 H/945-967 M) dan diberi gelar Mu’iz al-Dawlat dan ia ternyata lebih berpengaruh dan khalifah berada di bawah kendali mereka,[6] bahkan bukan kepada Ahmad saja ternyata kedua saudara Buwaihi yang lain al-Mustakfi juga memberikan kewenangan untuk menguasai sebagian wilayah Abbasiyah misalnya Ali Ibn Buwaihi dan Hasan Ibn Buwaihi.




B.     KEMUNDURAN PEMERINTAHAN DAN AKHIR DINASTI BUWAIHI
Sepeninggal Mu’iz ad-Dawlat Dinasti Buwaihi dilanda konflik. Faktor-faktor yang menjadi penyebab mundurnya pemerintahan Buwaihi, diantaranya adalah :
1.      Konflik internal dimana perebutan kekuasan didalam tubuh dinasti Buwaihi menyebkan kemunduran misalnya; perebutan kekuasaan antara Baha, Syaraf, dan saudara ketiga mereka Shamsham ad- Dawlat yang memperebutkan penerus mereka selanjutnya. Konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan Diansti Buwaihi pada masa-masa awal, tidak bisa dibina lagi pada masa-masa selanjutnya. Hal ini menyebabkan Konflik antar anggota keluarga menjadikan lemahnya pemerintahan di pusat.
2.      Sistem pemerintahan yang semula didasarkan pada kekuatan militer, belakangan diorganisir menjadi sebuah rezim yang lebih setia terhadap pimpinan mereka atas kekayaan dan kekuasaan dari pada setia terhadap negara.
3.      Pertentangan antara aliran-aliran keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa Dinasti Buwaihi adalah penyebar madzhab Syi’ah yang sungguh bersemangat, di balik kebanyakan rakyat Baghdad yang bermadzhab sunni. Pertentangan tersebut pada periode awal Dinasti tidak begitu nampak, terutama pada masa Adud ad-Daulah, kemudian mulai menajam kembali dan mengalami puncak pada akhir Dinasti Buwaihi di Baghdad. Hal ini disebabkan sewaktu kekhalifahan Abbasiyah pimpinan Al-qodir (991-1031) memimpin peperangan antar syi’ah dan suni ia menggemborkan Hanbalisme sebagai mazhab resmi negara.
4.      Kekalahan telak dari Kaum Saljuk yang berakibat jatuhnya pemerintahan Dinasti Buwaihi ke tangan Tughril Beg, yang sekaligus mengakhiri masa pemerintahan Dinasti Buwaihi.
5.      Bizantium yang mulai melakukan serangan-serangan kembali ke dunia islam.[7]


Malik Abd al-Rahim sebagai dinasti terakhir dari Bani Buwaihi menderita kekalahan atas Tugril Bek. Malik Abd al-Rahim (1048-1055) akhirnya dipenjara dan mengakhiri hidupnya dalam kurungan. Selanjutnya Dinasti Buwaihi berkahir dan Tugril Bek salah satu keturunan Bani Saljuk bekerja sama dengan Khalifah Dinasti Bani Abbas.[8]
Bagaimanapun keberhasilan Dinasti Buwaihi memang tidak bertahan lama. Sejak kematian Adud ad-Daulah pada tahun 983 M (372 H) keutuhan keluarga Buwaihi mengalami erosi dan perpecahan. Ide kerjasama yang dikembangkan generasi pertama rupanya tidak mengakar, cabang-cabang keluarga tidak puas dengan otonomi yang dinikmati bahkan ada yang menginginkan kekuasaan tunggal atas seluruh wilayah Buwaihi. Mungkin tendensi demikian merupakan perkembangan natural dari upaya individu-individu Buwaihi dalam menghadapi perubahan dan tantangan eksternal. Misalnya, pada perempat akhir abad ke-10, Dinasti Fatimiyah telah muncul sebagai ancaman langsung terhadap pengaruh Buwaihi di barat dan selatan. Di Persia dan Arabia Timur ancaman masing-masing datang dari Samaniyah kemudian Gaznawiyah dan Qaramitah.
Juga posisi wilayah Buwaihi yang strategis bagi perdagangan antara timur dan barat serta selatan dan utara, kemudian telah dilemahkan oleh politik perdagangan Fatimiyah yang agresif lewat Laut Merah. Peranan Teluk Persia yang pernah dominan menjadi semakin pudar. Kurang berkembangnya pertanian akibat sistem perpajakan yang tidak efisien dan eksploitatif, serta turunnya volume perdagangan jelas melemahkan sistem ekonomi Dinasti Buwaihi. Pada gilirannya kelemahan politik, ekonomi, sosial dan militer telah memudahkan bagi kekuatan-kekuatan baru seperti para pemimpin lokal, dan Gaznawiyah kemudian Saljuk untuk merebut kekuasaan. Ray dan Jibal diduduki Mamud al-Gaznawi (1029/420 H); Fars diambilalih pemimpina Kurdi, Fadluyah (1056/448 H) dan Baghdad oleh Tugril Beg (1055/447 H).[9]



C.     HASIL PERADABAN DI BUWAIHI
1.      Pembangunan rumah sakit Bimaristan al-Adhudi yang memiliki 24 tenaga medis dan rumah sakit ini dijadikan pusat studi kedokteran. Rumah Sakit ini didirikan pada tahun 978 M. Pembangunan rumah sakit tersebut menelan biaya 100.000 dinar.
2.      Pembangunan Sekolah-sekolah di Syiraz, Rayy, dan Isfahan.
3.      Pembangunan Observatorium di Bagdad.
4.      Gerakan penterjemahan.
Pada saat Adud memimpin menetapkan dua cara pemilihan menteri-menteri yaitu: pertama kemampuan manajerial, kedua kemampuan retorika oleh karena wajar bila pada saat itu menteri-menteri pandai dalam sastra. Pada masa itulah muncul sejumlah pakar yang hingga kini masih ada diantaranya.
a.       Ibnu Sina : Filosof dan pernah menjadi hakim pada Dinasti Buwaihi.
b.      Ibn Maskawih, pakar sejarah dan kemudian menjadi filosof dengan karyanya yang sangat terkenal Hayy Ibn Yaqjan.
c.       Istakhri ; ahli ilmu bumi.
d.      Nasarwi ; pakar matematika yang memperkenalkan angka india sehingga matematika berkembang pesat.
e.       Al-Kharizmi; ahi matematika bidang al-jabar.
f.       Ibn Haistam (al-Hazen 1039) pemilik teori cahaya yang lebih sempurna dibanding teori cahaya sebelumnya yang dibangun oleh Euclid dan Ptolemius[10].
g.      Para Penyair seperti al-Muntanabbi, Abu Ali al-farisi yang mereka membuat karya-karya yang dipersembahkan untuk Adud.
Dalam menciptakan perdamaian Adud bekerja sama dengan seorang wazir Kristen yang cukup terampil, Nashr Ibn Harun, yang atas otoritasnya dari khalifah mendirikan dan memperbaiki sejumlah gereja dan biara.[11]
Sebagaimana telah dimulai pada masa-masa awal dinasti Buwaihi dalam memperbaiki kerusakan perekonomian yang beberapa dekade sebelumnya mengalami kehancuran, setelah perekonomian pulih Adud melakukan perbaikan-perbaikan seperti :
Ø  perbaikan irigasi dan mengambil tanah-tanah yang ditinggalkan pemiliknya.
Ø  Staf-staf Negara mengumpulkan pendapatan Negara dari daerah-daerah kekuasaan dan membayar pejabat dan tentara yang mengabdi pada Negara secara kontan dengan pembayaran di muka.
Konsep ini lazimnya disebut distribusi Iqtha’ yaitu sebuah mekanisme untuk mensentralisasikan pengumpulan dan pengeluaran atas pendapatan Negara dan pada dasarnya hak tanah Iqtha’ hanya diberikan berdasarkan syarat pengabdian militer dan hanya berlaku sebatas kehidupan orang yang sedang menjabat.[12] Dibawah kendali Adud pulalah dia berhasil mempersatukan kembali kerajaan-kerajaan kecil yang sudah muncul sejak periode kekuasan Buwaihi di Persia dan Irak, sehingga membentuk satu Negara yang besarnya menyerupai Imperium.[13]
Teladan yang diperlihatkan Adud ad-Dauwlat diperlihatkan oleh putranya Syaraf ad-Dawlat (983-989) yaitu dengan membangun Observatorium terkenal putra Adud yang lain yaitu Baha ad-Dawlat (989-1012) menjatuhkan khalifah al-Tha’I karena merasa iri melihat khalifah memilki kekayaan yang sangat luar biasa. Disamping itu al-Tha’I memiliki seorang wazir cerdas berkebangsaan Persia yakni Sabur Ibn Ardsyir yang mampu membangun sebuah perpustakaan lengkap yang menyimpan 10.000 buku. Pada saat itulah Dinasti Buwaihi menuju kehancuran yang disebabkan pertikaian kalangan keluarga yaitu, Baha, Syaraf dan saudara ketiga mereka Shamsham ad- Dawlat yang mempermasalahkan penentuan penerus mereka.[14]



D.    PERISTIWA-PERISTIWA PENTING
Selama masa pemerintahan Dinasti Buwaihi, ada beberapa peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah, yaitu :
1.      Baghdad dan Siraz
Kedudukan Baghdad sebagai ibu kota dari segi politik dan agama. Di zaman Dinasti Buwaihi, Baghdad telah kehilangan kepentingannya dari segi politik yang mana telah berpindah ke Syiraz, tempat bermukimnya Ali bin Buwaih yang bergelar Imad ad-Daulah. Pengaruh Baghdad dari segi agama juga semakin pupus, disebabkan perselisihan madzhab di antara khalifah-khalifah dari Dinasti Buwaihi. Pertikaian ini telah melumpuhkan sama sekali pengaruh rohaniah yang selama ini dinikmati oleh khalifah.
2.      Ikhwanus Shafa
Di zaman ini muncul kumpulan ikhwanus shafa yang mengamalkan berbagai falsafah dan hikmah yang dikatakan bersumber dari mereka.
3.      Negeri-negeri yang Memisahkan Diri
Semasa berada di puncak kekuasaan, Dinasti Buwaihi telah menyatukan kembali sebagian wilayah Islam yang telah memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasiah Tetapi ketika kekuasaan Dinasti Buwaihi mulai merosot, banyak pula kerajaan yang memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasiah, di antaranya ialah kerajaan Imran bin Syahin di Batinah, kerajaan Najahiyah di Yaman, kerajaan ‘Uqailiyah di Mausil, kerajaan Kurd di Diar Bakr, kerajaan Mirdasiyah di Aleppo, kerajaan Samaniyah di seberang sungai dan di Khurasan dan kerajaan Saktikiyah di Ghaznah.
4.      Perselisihan Madzahab
Ajaran Islam tiba di Dailam melalui kaum Syi’ah yang diwakili oleh Hasan bin Zaid, kemudian oleh al-Hasan bin Ali al-Atrusy. Sedangkan masyarakat Baghdad ketika itu beraliran sunni. Terlebih ketika Khlaifah al-Qadir berusaha menentang faham syi’ah.[15]
KESIMPULAN

Bani Buwaihi yang awal kehidupannya miskin dan tinggal di sebuah pesisir Laut Kaspia menjadi sebuah klan yang mampu menguasai sebuah kekhalifahan besar dunia. Hal ini pada mulanya adalah system pemerintahan yang dilaksankan oleh bani Buwaihi atas dasar kekeluargaan yang akhirnya mencapai sebuah peradaban yang dianggap cukup maju, selain itu ada segelintir amir al-umara yang sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan yang akhirnya pada masa ini Adud ad-Dawlat berkuasa mencapai klimaknya. Para sejarawan berpendapat apabila membangun sebuah Negara yang diiringi dengan pembangunan kultur masyarakat maka dipastikan Negara itu akan dapat mencapai peradaban yang tinggi. Dibuktikan oleh Dinasti Buwaihi Pembangunan Fisik diiringi juga dengan pendirian mesjid, sekolah, sarana ilmu pengetahuan; perpustakaan, observatorium yang memang pada saat itu kultur masyarakatnya sedang membutuhkan dan bergeliat dalam hal tersebut.
Hancurnya sebuah Negara bukan diawali oleh bangsa lain tetapi kehancuran itu sebenarnya dilakukan oleh dirinya sendiri; itulah ungkapan yang mungkin dapat menjelaskan keruntuhan Dinasti Buwaihi. Percekcokan dikalangan amir al-umara sendirilah yang memulainya kehancuran dimana pertiakaian Baha, Syaraf dan saudara ketiga mereka Shamsham ad- Dawlat yang mempermasalahkan penentuan penerus mereka. Sehingga Dinasti tersebut mulai melemah dan dimanfaatkan oleh pihak lain untuk melepaskan diri dan berusaha untuk menggulingkan kepemimpinan mereka, misalnya kedatangan Bani Saljuk atas undangan khalifah yang ternyata mengakhiri kekuasaan dinasti Buwaihi dalam kekhalifahan Abbasiyah.
Demikianlah sekilas tentang keberadaan dan kekuasaan Dinasti Buwaihi pada masa kekhalifahan Abbasiyah. Buwaihi yang merupakan salah satu Dinasti yang menguasai daerah Asfahan, Syiraz dan Kirman di Persia. Baghdad pun mereka kuasai sampai tahun 1055 M. Khalifah Bani Abbas tetap diakui, tetapi kekuasaan dipegang oleh penguasa-penguasa Buwaihi. Akhirnya kekuasaan Buwaihi dirampas oleh Dinasti Saljuk.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas Sirajudin, I’tiqod Ahlus Sunnah Waljama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah,1979, cet.ke-1.
Ahmad Al-‘Usairy , Sejarah Islam. Jakarta : Akbar Media, 2010. Cet. Ke 1.
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Jakarta :Logos. 1997.
A Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3. Jakarta: Pustaka Alhusan.1993.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam dirasah islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2004.
Harun Nasution, 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta : UI Press.
Harun Nasution (ed.), Ensiklopedi Islam. Jakarta : Djambatan, 1992.
Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang,1997.
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Islamika. 2008, cet. Ke.I.
J.A, Boyle, History Of Iran, Cambridg: The University Press, 1968, Vol. 5.
Joel L. Kraemer, Renaisance Islam, terj. Asep saefullah, Bandung: Mizan 2003.
Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo, 1985.
M Fahsin Faal, Sejarah Kekuasaan Islam, Jakarta: CV Artha Rivera, 2008, cet. Ke-1.
Philip K Hitti, The History of Arabs. Jakarta: Serambi Ilmu.202. cet. Ke-1.
Sou’yb Joeseof, Sejarah Daulah Abbasiyah II, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Quraish Shihab et.al.,Sejarah dan Ulumul Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008, cet ke-4.



HASIL PERADABAN DI BUWAIHI


DISUSUN OLEH
MASHFUFAH              : 10 42 0018

MATA KULIAH : SPI (KWS, TURKI DAN ASIA TENGAH)

DOSEN PEMBIMBING
PADILA M. HUM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
“SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM. A”
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
RADEN FATAH
PALEMBANG
2012/2013



[1]file:///C:/Documents%20and%20Settings/User/My%20Documents/Downloads/Fakhrunnur%20Thaha%20%20DINASTI%20BUWAIHI%20(945%20%E2%80%93%201055%20M).htm.
[2] Yatim,  Badri, Sejarah Peradaban Islam dirasah islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2004 , hal 53-54.
[3] http://id.scribd.com/doc/76703527/Makalah-Buaihi.
[5]  http://kliksosok.blogspot.com/2007/08/dinasti-buwaihi-928-1008-m-kebangkitan.
[6]  Mubarok,  Jaih, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam,(Bandung: Pustaka Islamika.2008), cet. Ke-1, hlm 169.
[7] Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam dirasah islamiyah II, hal, 54.
[8] Watt, W. Montgomery dalam Prof. Dr Jaih Mubarok M.Ag, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Ilmu,2008), cet. Ke-1, hal 174.
[9]Syalabi,  A, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, hal. 204.
[10] Atsir,  Ibn dalam Prof.Dr Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam(Bandung: Pustaka Ilmu.2008), cet.ke-1, hal. 171.
[11] Miskawayh dalam Phillip K. Hitti, History of Arabs (Jakarta: serambi Ilmu,2002), cet.ke1. hal.600.
[12] Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, ( Jakarta : PT Rja Graphindi, 1985) hal. 231.
[13] K. Hitti, Phillip, History of Arabs (Jakarta: serambi Ilmu,2002), cet.ke1. hal.599.
[14] Atsir, Ibn, dalam  Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam(Bandung: Pustaka Ilmu.2008), cet.ke-1, hal. 171.
[15] Joeseof, Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah II, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar