Kamis, 08 Mei 2014

Perkembangan Islam di Wilayah Pengaruh Kebudayaan Turki: Tajikistan

Perkembangan Islam di Wilayah Pengaruh
 Kebudayaan Turki: Tajikistan


         Disusun Oleh :
Eka Hikmawati (10420008)

Dosen Pembimbing
Padila, S.S., M.Hum



FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM ‘A’
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2012





PENDAHULUAN

Republik-republik Asia Tengah bekas Uni Soviet yang secara tradisional disebut Turkistan, tanah bangsa Turki, menghasilkan lima negara muslim merdeka yaitu Kazakhstan, Uzbekistan, Tajikistan, Kirghistan dan Turkmenistan. Dalam makalah ini akan membahas negara muslim Tajikistan.
Republik Tajikistan adalah sebuah negara di Asia Tengah yang berbatasan dengan Afghanistan, RRC, Kirgizstan dan Uzbekistan. kondisi geografisnya merupakan dataran tinggi yang tidak berbatasan dengan laut. Sebagian besar penduduk Tajikistan termasuk ke dalam etnis Tajik yang berbahasa Persia. Berbagi sejarah, bahasa, dan budaya dengan Afghanistan dan Iran. Setelah menjadi bagian dari Kekaisaran Samanid, Tajikistan menjadi republik konstitotuen dari Uni Soviet pada abad ke-20 dengan nama Tajik Soviet Socialist Republik (Tajik SSR).[1]



PEMBAHASAN

A.    Islam di Tajikistan
Tajikistan adalah sebuah wilayah  yang terletak di sebelah Tenggara Asia Tengah. Luasnya mencapai 143.100 km2. Jumlah penduduknya berdasarkan data statistik tahun 1419 H / 1998 M mencapai 6.100.000 jiwa (terdiri atas orang-orang Tajik, Uzbek, Rusia dan Tartar). Persentase kaum muslimin di negeri ini mencapai 98%, mayoritas adalah pengikut Syiah. Perekonomian negeri ini disandarkan kepada pertanian, industri dan minyak.[2]
Pada tahun 1868 M Rusia menguasai al-Qayashirah di sebelah utara negeri ini. Tahun 1929 M Rusia memberikan batas terpisah bagi Tajikistan dan menjadikannya sebagai republik dalam Uni Soviet. Identitas Islam masih tetap terpelihara selama masa kekuasaan komunis ini hingga keruntuhannya. Negara ini mengumumkan kemerdekaannya bersamaan dengan runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 M.[3]  Negara ini ada karena kelalaian, karena kenyataan bahwa kekuatan Uni Soviet runtuh secara tak di duga dan dramatis.[4]
Tajikistan memiliki tingkat kelahiran tertinggi dan pendapatan perkapita terendah di antara bekas republik Uni Soviet. Negara ini juga paling kacau dengan 70% penduduknya masih tinggal di daerah pedesaan. Negara ini memiliki tingkat kematian bayi yang tertinggi di dunia. Dengan terbatasnya tanah yang baik untuk di tanami (kira-kira hanya 6% dari keseluruhan), sektor produksi tidak berkembang dan keahlian dari bangsa Rusia lenyap, keseimbangan ekonomi berada di ambang keruntuhan. Keadaan perang saudara di banyak bagian Tajikistan ikut memperburuk keadaan. Elite – elite baru sebagian besar komunis-komunis lama.[5] Orang-orang Rusia mulai meninggalkan Tajikistan. Pernah hampir setengah juta orang meninggalkan Tajikistan mereka sekarang kurang dari setengah angka tersebut.
B.     Perkembangan Islam di Tajikistan
Bila ditinjau dari segi politik & demografisnya, Tajikistan secara garis besar terbagi menjadi 2 wilayah utama. Wilayah pertama adalah wilayah Tajikistan barat yang etnis mayoritasnya adalah etnis Tajik & cenderung dekat dengan Uni Soviet sehingga ada banyak simpatisan komunis di daerah tersebut. Wilayah kedua adalah wilayah timur Tajikistan yang didominasi oleh etnis Pamiri. Sebagai akibat dari wilayah tinggalnya yang terisolasi dari wilayah Tajikistan lain karena adanya barisan pegunungan yang membentang di tengah-tengah Tajikistan, etnis Pamiri pun memiliki budaya & cara pandang yang berbeda bila dibandingkan dengan rakyat Tajikistan di kawasan barat.[6]
Tahun 1991 menyusul krisis internal berkepanjangan yang menimpanya, Uni Soviet akhirnya runtuh & negara-negara bagian penyusunnya - termasuk Tajikistan - memerdekakan diri di tahun yang sama. Pasca merdekanya Tajikistan, Rakhmon Nabiev (atau Nabiyev) yang menganut paham komunis & berasal dari kawasan Leninabad, Tajikistan barat, diangkat sebagai presiden baru negara tersebut. Tak lama sesudah diangkat sebagai presiden, Nabiev menerapkan kebijakan untuk membatasi ruang gerak dari lawan-lawan politiknya. Kebijakan Nabiev tersebut lantas memunculkan protes dari pihak-pihak berseberangan (umumnya berasal dari kawasan Garm & Gorno-Badakhshan, Tajikistan timur) yang memutuskan untuk melakukan aksi demonstrasi besar-besaran sejak bulan Maret 1992.[7]
Pada periode yang kurang lebih bersamaan, sejumlah anggota milisi Islam (mujahidin) yang bermukim di Afganistan mulai berbondong-bondong pergi menuju Tajikistan. Para mujahidin itu sendiri banyak yang aslinya memang berasal dari Tajikistan, namun secara diam-diam menyeberang ke Afganistan & membantu mujahidin-mujahidin setempat ketika Uni Soviet menginvasi Afganistan di tahun 1979. Ketika Uni Soviet pada akhirnya runtuh & Tajikistan merdeka inilah, mereka memutuskan untuk mendirikan partai politik baru bernama Partai Renaisans Islam (PRI) di negara asalnya dengan harapan bisa menerapkan ideologi Islam di ranah politik Tajikistan.[8]
Bulan Mei 1992, Presiden Nabiev membentuk kelompok Pengawal Presiden yang anggotanya terdiri dari simpatisan-simpatisan komunis dari kawasan Kulyab, Tajikistan selatan. Salah satu tujuan dari pembentukan kelompok Pengawal Presiden adalah untuk membubarkan paksa demonstrasi anti pemerintah. Namun bukannya berhasil meredam aksi demonstrasi dari pihak lawan, yang terjadi kemudian justru adalah pecahnya kerusuhan besar antara kelompok pendukung & penentang rezim Tajikistan. Pasca kerusuhan besar tersebut, konflik politik di Tajikistan semakin berlarut-larut sehingga pecahnya perang sipil pun hanya tinggal menunggu waktu.[9]
Pahlawan-pahlawan di Tajikistan adalah Muhammad Abduh, Afghani dan Iqbal, semuanya tokoh-tokoh pan-Islam sedunia. Bahkan salah-satu puisi dari Iqbal adalah pilihan kaum oposisi untuk menjadi puisi nasional jika oposisi tersebut berkuasa. Perlunya Iqbal di masa kini dalam dunia Muslim adalah suatu komentar tentang daya pegas ide-idenya dan kandungan emosional ide-idenya.
Islamic Renaissance Party di Tajikistan, yang didesas-desuskan berhubungan dengan kelompok-kelompok di Afghanistan, menuntut suatu tatanan Islam. Pernah Quran dilarang di sini karena Uni Soviet melihatnya sebagai literatur yang berbahaya secara ideologis. Masjid-masjid berkembang secara dramatis di Tajikistan sejak kemerdekaan. Sebaliknya jumlah gereja tetap yaitu 19 buah.
Banyak analisis percaya bahwa Tajikistan siap untuk mengambil-alih pemerintahan Islam lainnya, sebagaimana yang telah terjadi di Afghanistan. Kenyataan bahwa negara itu berbatasan dengan Afghanistan dimana lebih dari dua juta orang Tajik  lebih menambahkan ketakutan ini pada barat. Banyak pengungsi dari perang Afghan telah menetap di Dushanbe, ibu kota Tajik dan menyebarkan pengaruh mereka. Peperangan di Afghanistan berakibat 60 ribu pengungsi masuk ke Tajikistan. Sebutan Greater Tajikistan, yakni bagian-bagian di Utara Afghanistan dan Tajikistan yang bergabung bersama, makin terdengar.
Bentrokan yang terjadi di Tajikistan adalah kaum komunis yang memimpin ibu kota Dushanbe dengan daerah-daerah timur dan tengah dimana pengaruh Islamnya paling kuat.[10] Hal ini mengakibatkan timbulnya perlawanan. Sehingga, berkobarlah perang saudara disebabkan oleh praktek politik penindasan yang memaksa presiden meletakkan jabatannya. Presiden waktu itu ialah Rahman Nabiyev yang memenangkan pemilu karena memberikan loyalitas kepada partai komunis. Disebabkan oleh banyaknya perselisihan, komunis kembali berkuasa di bawah pimpinan Imam Ali Rahmanov (pembantu Nabiyev).[11] Pemerintah menyandarkan dirinya pada Rusia untuk senjata dan tentaranya. Penjaga perbatasan Rusia bertindak sebagai penyangga antara Afghanistan dan Tajikistan. Ada semacam genjatan senjata pada 1994. Pada pemilihan badan legislatif 1995 kira-kira sepertiga wakil dari badan tersebut berlatar belakang komunis. Oposisi Islam melihat Rakhmanov dan pendukung-pendukungnya sebagai rezim yang lalim dan korup. [12]
C.     Kondisi Politik di Tajikistan
Bulan Mei 1992, perang sipil di Tajikistan akhirnya pecah menyusul timbulnya kontak senjata antara pasukan simpatisan pemerintah melawan pasukan dari sayap militer milik partai-partai oposisi di Dushanbe, ibukota Tajikistan. Awalnya pasukan oposisi berada di atas angin & berhasil memaksa pemerintahan rezim Nabiev untuk membentuk koalisi pemerintahan yang sebagian anggotanya berasal dari partai-partai oposisi. Seiring berjalannya waktu, pihak oposisi menjadi semakin dominan di tubuh pemerintahan & bahkan sempat memaksa Presiden Nabiev untuk meletakkan jabatannya di bawah todongan senjata pada bulan September 1992.[13]
Ketika kondisi politik Tajikistan semakin tidak menguntungkan bagi kubu Nabiev & pendukungnya, Rusia memutuskan untuk mengirim pasukan ke Tajikistan lewat wilayah Uzbekistan. Hasilnya, di bulan Desember 1992 pasukan oposisi berhasil dipukul mundur keluar Dushanbe & rezim komunis Nabiev kembali menjadi rezim yang berkuasa di Tajikistan. Tak lama kemudian, parlemen Tajikistan menggelar pemilu di mana hasilnya, Emomali Ramon yang berasal dari wilayah Kulyab - wilayah yang rakyatnya juga merupakan simpatisan eks Presiden Nabiev - terpilih sebagai presiden baru Tajikistan. Di pihak lawan, pihak-pihak oposisi yang baru dipukul mundur memutuskan untuk menggabungkan diri & membentuk kelompok baru yang bernama Oposisi Tajik Bersatu (OTB).[14]
Pihak oposisi sendiri bukannya tanpa bantuan asing sepenuhnya. Setelah pasukan gabungan Rusia & Tajikistan berhasil mengusir pasukan oposisi keluar Tajikistan, pasukan oposisi lantas memanfaatkan Afganistan - negara tetangga Tajikistan di selatan - sebagai markas barunya. Tak hanya itu, banyak pula anggota mujahidin Afganistan yang secara sukarela ikut bergabung dengan pasukan oposisi Tajikistan. Kebetulan jumlah etnis Tajik di Afganistan memang cukup banyak mengingat etnis Tajik adalah etnis terbesar kedua di Afganistan setelah etnis pashtun.[15]
Tajikistan pasca perang sipil juga masih sering diwarnai oleh konflik-konflik berskala kecil. Konflik-konflik tersebut biasanya melibatkan kelompok-kelompok suku atau milisi-milisi lokal yang ingin berebut pengaruh. Kendati demikian, bayang-bayang ketakutan bahwa perang sipil akan kembali meletus semakin terkikis menyusul ditutupnya basis-basis militer OTB di luar Tajikistan & dileburnya sayap militer milik OTB ke dalam keanggotaan tentara nasional Tajikistan. Dengan bantuan finansial dari negara-negara luar, Tajikistan juga mulai membangun fasilitas-fasilitas baru untuk membantu meningkatkan akses pemasaran produk-produknya keluar negeri. Hasil akhir dari perang tersebut ialah Perang berakhir tanpa pemenang yang jelas, Kelompok-kelompok penyusun OTB berubah menjadi partai politik legal, Sayap militer OTB dilebur ke dalam tentara nasional Tajikistan.[16]
D.    Social-budaya Tajikistan
Dushanbe, Tajikistan Berencana menjadi pusat budaya dan sejarah Islam terbesar di Asia Tengah dan di dunia, Tajikistan akan membangun salah satu Masjid terbesar di dunia. "Masjid ini akan mengakomodasi sekitar 150.000 orang," ujar juru bicara kepresidenan Tajikistan dalam sebuah konferensi pers yang dikutip oleh situs The Financial, Minnggu 22 Mei. "Pembangunannya diharapkan akan dimulai pada bulan Oktober."[17]
Ia mengatakan bahwa Presiden Emomali Rakhmon mengunjungi Dubai pada tanggal 26 September setelah berpidato pada sesi ke-64 di hadapan Majelis Umum PBB, untuk lebih mendalami proyek tersebut. Dibiayai oleh Qatar dan Uni Emirat Arab, Masjid itu akan siap untuk digunakan pada tahun 2014. Bercermin pada arsitektur tradisional Tajikistan, Masjid tersebut akan dibangun di atas lahan seluar 7.5 hektar di tengah ibukota Dushanbe.
"Masjid ini akan dihiasi dengan menara yang sangat besar, tujuh kolom berwarna yang merangkum tujuh tahapan Tuhan menciptakan dunia dan tujuh gerbang menuju surga, juga sumber air dan air terjun yang memperlihatkan Tajikistan sebagai sebuah negara yang memiliki air murni," ujar juru bicara tersebut, menambahkan bahwa Masjid itu akan dibangun oleh perusahaan Emirat, Adnan Saffarini.[18]
Ia mengatakan bahwa proyek yang didanai oleh Qatar ini didesain untuk menjadi pusat budaya dan sejarah Islam yang besar. Tempat ibadah kaum Muslim itu akan dilengkapi dengan ruang-ruang konferensi untuk pertemuan tingkat tinggi. Tak ketinggalan pula sebuah perpustakaan dan museum. Proyek besar ini juga akan membangun sebuah universitas Islam di samping Masjid. Muslim mencakup hampir 90% dari seluruh penduduk Tajikistan yang berjumlah 7.2 juta dengan 249 Masjid dan 18 institusi pendidikan Islam, namun merupakan sebuah negara sekuler dengan jaminan kebebasan beragama dalam konstitusinya.[19]




KESIMPULAN

Republik Tajikistan adalah sebuah negara di Asia Tengah yang berbatasan dengan Afghanistan, RRC, Kirgizstan dan Uzbekistan. kondisi geografisnya merupakan dataran tinggi yang tidak berbatasan dengan laut. Sebagian besar penduduk Tajikistan termasuk ke dalam etnis Tajik yang berbahasa Persia. Berbagi sejarah, bahasa, dan budaya dengan Afghanistan dan Iran. Setelah menjadi bagian dari Kekaisaran Samanid, Tajikistan menjadi republik konstitotuen dari Uni Soviet pada abad ke-20 dengan nama Tajik Soviet Socialist Republik (Tajik SSR).
Setelah kemerdekaan, Tajikistan menderita perang saudara yang berlangsung mulai dari 1992 sampai 1997. Sejak akhir perang, stabilitas politik yang baru didirikan dan bantuan asing telah memungkinkan perekonomian negara berkembang. Perdagangan komoditas seperti kapas,aluminium dan uranium telah memberikan kontribusi besar untuk negara ini supaya terus membaik. Namun, pertempuran pecah kembali di akhir Juli 2012, dengan hasil yang kurang jelas.










DAFTAR PUSTAKA

Ali, H.A. Mukti. 1994. Islam dan Sekularisme di Turki Modern. Jakarta: Djambatan.
Al-‘usairy, Ahmad. 2011. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media.
Lapidus, Ira. M.. 1999, Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
http://www.scribd.com/doc/6122546/islam-tajikistan.






[2] Ahmad Al-‘usairy. 2011. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media. Hlm.510

[3] Ibid. Hlm.510
[4] H.A. Mukti Ali. 1994. Islam dan Sekularisme di Turki Modern. Jakarta: Djambatan. Hlm.315
[5] Ibid. Hlm.316
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] H.A. Mukti Ali. 1994. Islam dan Sekularisme di Turki Modern. Jakarta: Djambatan. Hlm. 316-318
[11] Ahmad Al-‘usairy. 2011. Sejarah Islam. Jakarta: Akbar Media. Hlm.510
[12] H.A. Mukti Ali. 1994. Islam dan Sekularisme di Turki Modern. Jakarta: Djambatan. Hlm 318
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar