Sistem
Politik dan Struktur Masyarakat Turki Usmani
Disusun Oleh :
Kurniati
(10420014)
Dosen Pembimbing :
Padila,
S. S. M. Hum
FAKULTAS
ADAB DAN HUMANIORA
JURUSAN
SEJARAH
KEBUDAYAAN ISLAM ‘A’
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2012
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinasti Ustmani
muncul pertama kali sebagai kerajaan kecil di tenggara Anatolia. Ia mulai
meluas cepat setelah merdeka dari kekuasaan Dinasti Saljuk pada abad ke-11.
pada tahun 1453, Dinasti Utsmani berhasil mengambil alih Konstantinopel dari
kerajaan Byzantium. Menjadikannya sebagai ibu kota negara dan menamainya dengan
Istanbul. Dinasti ini kemudian menaklukkan Syria, Mesir dan Arabia Barat pada
tahun 1516-1517. kekuatan militer dinasti ini mencapai puncaknya pada abad
ke-16. Namun akhirnya, kekuasaan politik dan militer yang hampir tak
terkalahkan ini mulai mendapat tantangan pada masa Sultan Murad IV (memimpin
antara 1623 sampai 1640) dengan munculnya kekuatan Barat.
Kekalahan
militernya oleh Pasukan Eropa di Eropa dan Lautan India seakan-akan sebuah
konsekuensi yang harus diterima dinasti ini akibat penyelewengannya dari tata
aturan lama (nizam-iz
alem). Kaum intelektual dinasti ini mencari penyebab kemunduran dinastinya.
Mereka beranggapan bahwa degradasi kultural dan religius, penyelewengan tradisi
dan korupsi morallah yang menyebabkannya. Para komentator yang hidup pada masa
itu berargumen bahwa solusi untuk kelemahan tentara dan rezim Dinasti Ustmani
bisa ditemukan jika mereka kembai kepada aturan lama, adat istiadat dan tradisi
Budaya Islam dan Turki. Reformasi negara dan pendidikan yang diajukan pada saat
itu pun beranjak dari perspektif ini. Namun pada abad ke-18, seruan untuk
kembali ke masa lalu itu berganti dengan seruan untuk menyongsong tatanan baru
(nizam-i cedid). Dinasti Utsmani,
untuk pertama kalinya, mulai mencoba
budaya dan peradaban barat dengan hati-hati dengan mengirimkan beberapa duta
besar ke beberapa ibu kota negeri-negeri Eropa untuk melaporkan kemajuan yang
terjadi di sana.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sistem hukum pada masa Turki Usmani?
2. Bagaimana
keadaan sosial masyarakat pada masa Turki Usmani?
PEMBAHASAN
A. Bentuk
Kekuasaan
1. Sultan
dan Kekuasaan Mutlak
Pada umumnya dalam berbagai ihwal
para Sultan Utsmani berkuasa secara mutlak (absolut dan diktator), walau di
akhir masa pemerintahan Turki Utsmani ini pernah diupayakan adanya UUD,
sebagaimana akan kita bicarakan nanti di muka. Bentuk-bentuk kediktatoran dan
sewenag-wenangan mereka yang paling jelas adalah bahwa awal masa pemerintahan
seorang sultan sering kali diwarnai dengan pembunuhan terhadap
saudara-saudaranya karena dihawatirkan mereka akan memberontak.[1]
Karl Brockelman mengatakan bahwa
Muhammad II (1541) dalam upaya meratakan jalan dan memudahkan jalannya roda
pemerintahan telah membunuh saudara-saudaranya, Ahmad. Maka sejak saat itu
seorang Sultan membunuh saudaranya-saudaranya seolah-olah tradisi yang sudah
melembaga. Pada masa Sultan Mahmud III (1595-1603), dia telah membunuh seluruh
saudara laki-lakinya yang berjumlah Sembilan belas orang dan telah menggelamkan
janda-janda ayahnya yang berparas cantik yang berjumlah sepuluh orang .[2]
2.
Sistem
Hukum Dinasti Utsmani
Berdasarkan tradisi hukum yang berlaku pada dinasti Islam
sebelumnya, dinasti Utsmani mengembangkan sistem hukum (kanun-u Osmani) yang
berisi tiga bagian: (1) Syari'ah; (2) Undang-Undang (termasuk Hukum Adat-orf);
dan (3) aturan hukum minoritas yang belaku bagi non-Muslim.
Pengadilan
adalah institusi resmi yang beroperasi di bawah otoritas pemerintahan pusat di
Istanbul. Pemerintah pusatlah yang menunjuk dan membayar semua hakim dan
memastikan pelaksanaan putusan mereka. Hubungan antara pemerintah pusat dan
hakim inilah yang membolehkan pejabat negara untuk memutuskan wilayah geografis
dan kekuasaan para hakim yang mereka autorisasi untuk melaksanakan
prinsip-prinsip syari'ah. Karena itulah, putusan hakim diterima secara resmi
dan didukung oleh kekuasaan kursif negara. pengadilan juga bisa menetapkan
aturan yang dibuat oleh seorang perantara berdasarkan kesepakatan pihak-pihak
yang bersengketa, jika aturan itu tercatat secara resmi dalam catatan
pengadilan dan dilaksanakan oleh pejabat
negara. Aturan yang dibuat oleh
seorang hakim untuk menerapkan prinsip-prinsip syariah biasanya bersifat final
dan mengikat. Namun pihak yang tidak bisa menerima aturan yang dibuat hakim
bisa mengajukan tuntutan banding kepada Sultan (divan) sebagai pengadilan
tertinggi.
Sistem
hukum kedua adalah Kanun yang merupakan undang-undang yang ditetapkan oleh
Sultan dalam posisinya sebagai khalifah. Kanun biasanya diambil dari adat
istiadat, hingga ia bisa berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya. Otoritas
sultan untuk membuat undang-undang nampaknya diatur oleh Syari'ah itu sendiri
sebagai cara untuk mengatur urusan-urusan yang tidak tercakup oleh
prinsip-prinsipnya seperti struktur institusi negara, pemberlakuan pajak
(selain yang ditentukan oleh Syari'ah), dan hukuman-hukuman tertentu.
Undang-undang Kanun biasanya berlaku dalam jangka waktu yang terbatas. Biasanya
ia habis masa berlakunya ketika Sultan yang mengundangkannya meninggal atau
turun tahta, kecuali bila seandainya Kanun itu ditetapkan lagi oleh penguasa
berikutnya. Naskah Kanun berkembang
cukup lambat, karena Sultan berusaha mempertahankan peninggalan masa
pemerintahan sebelumnya.[3]
Bagian ketiga dari
sistem hukum dinasti Utsmani adalah hukum dan administrasi peradilan komunitas
non-Muslim (millet). Dengan demikian,
anggota komunitas tersebut dilahirkan, menikah, bercerai, dan disemayamkan
berdasarkan hukum adat atau agama mereka masing-masing. Hukum adat dan agama
mereka juga berlaku dalam urusan-urusan yang lebih luas seperti dalam hubungan
ekonomi dan sosial. Komunitas gereja bisa mengadili dan menjatuhkan hukuman
penjara pada pelanggar hukum dan menyerahkan proses eksekusi hukuman mereka
kepada otoritas dinasti Utsmani. Namun Syari'ah dan Kanun dinasti Utsmani lebih
mengutamakan hukum kriminal dan hukum lainnya daripada masalah-masalah yang
berkaitan dengan yurisdikasi komunitas dzimmah. Selain menyerahkan kasus ke
pengadilan yang mengurusi masalah-masalah sengketa antara Muslim, anggota
komunitas dzimmah kadang-kadang lebih suka menyerahkan kasus ke pengadilan yang
bisa memberikan putusan yang mereka inginkan daripada kepada pemilik otoritas
di lingkungannya. Misalnya, perempuan Kristen dan Yahudi lebih mudah untuk
mendapatkan putusan cerai di pengadilan Syari'ah dan kemudian menyerahkan
pelaksanaan putusannya kepada pemilik otoritas di komunitasnya dar ipada di
pengadilan komunitasnya sendiri.
Meskipun otonomi
hukum masyarakat non-Muslim di bawah dinasti Utsmani lebih kuat dan besar
daripada di bawah pemerintahan negeri lain pada saat itu, terdapat juga
beberapa pembatasan yang cukup penting. Pada level komunitas misalnya,
kekuasaan Sultan untuk menunjuk atau memecat pemimpin sebuah komunitas millet mengharuskan terpilihnya orang yang setia
kepada penguasa Utsmani (atau paling tidak tidak mangkir) untuk menempati
posisi itu. Adanya kemungkinan bagi
individu non-Muslim untuk bisa mengakses pengadilan Islam, meskipun mungkin
tidak dilakukan, menjadi semacam pembatasan terhadap kekuasaan pengadilan the
minority ecclesiastical Yahudi. Kemungkinan
untuk melaksanakan pilihan itu bisa memberikan kemungkinan kepada individu
dalam komunitas masyarakat non-Muslim untuk mendapatkan kompensasi jika mereka
merasa dirugikan oleh pemimpin komunitas agamanya. Namun penting untuk dicatat
bahwa hal itu bisa terjadi jika ada keinginan dari penguasa Islam dan pejabatnya.[4]
Pengadopsian Kanun
dan Syari'ah yang sistematis oleh Dinasti Utsmani merefleksikan otoritas yang
sudah lama dimiliki negara sebagai pembuat undang-undang. Tradisi negara
sebagai pembuat undang-undang bisa ditelusuri hingga budaya Turki Pra Islam yang
disebut-sebut oleh sejarahwan sebagai pondasi bagi sekularisme Turki modern.
Penting dicatat, praktik ini memperlihatkan bahwa Syari'ah tidak memperhatikan
wilayah tertentu yang penting bagi administrasi negara. Wilayah itu tetap
terbuka bagi adanya pertimbangan-pertimbangan publik sesuai dengan perubahan sosial yang terjadi.
Pertimbangan-pertimbangan
kebijakan itu akan ditentukan oleh pejabat negara tanpa harus terikat pada
metodologi ushul fiqih. Lagipula, apakah proses penentuan yang dilakukan oleh
pejabat negara itu menggunakan syariah atau tidak menjadi tidak penting karena
seluruh proses penentuan itu bersifat politis dan sekular, tidak religius.
B.
Bangsa Turki dan
Imperium Usmani
1.
Migrasi Bangsa
Turki dan Negara Islam-Turki
Sejumlah migrasi yang mengantarkan
pada berdirinya rezim saljuk, Mongol, dan Timuriyah di Iran juga mengantarkan
pada lahirnya sebuah imperium muslim yang besar di wilayah barat. Pada akhir
abad sebelas, masyarakat turki mulai menaklukkan beberapa negeri yang
sebelumnya bukan bagian dari negeri muslim. Bermula dari migrasi tersebut
lahirlah Negara saljuk di Anatolia dan kemudian disusul dengan lahirnya
imperium Usmani di Anatolia dan Balkan. Imperium Usmani telah menyerap sejumlah
negeri muslim di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Imperium Usmani mencerminkan tipe
masyarakat Islam lainnya. Dari Negara Saljuk-Rum (Anatolia, abad 12 dan 13),
imperium Usmani mewarisi pola masyarakat Saljuk-Iran dan ia memberinya sebuah
corak inovatif. Imperium Usmani menjadikan Negara sebagai institusi yang
dominan, dan menjadikan kalangan elite keagamaan, warga nomadic Turki di
Anatolia, dan seluruh rakyat berada di bawah kekuasaan Negara. [5]
Ekspansi bangsa turki di Anatolia
segera di imbangkan dengan pembentukan Negara-negara yang berusaha meraih kekuasaan
atas masyarakat nomadik dan terhadap teritori yang telah mereka taklukkan,
mengendalikan penjelajahan mereka yang berani, dan untuk memulihkan kembali
produksi pertanian.
Dari beberapa ezim yang berdiri pada
akhir abad kesebelas, maka dinasti saljuk di Anatolia tengah dan di bagian
barat daya Anatolia, dengan beribukota di Konya, dengan gigih membangun kembali
seluruh perlengkapan pemerintahan Islam Turki Saljuk. Untuk mendomonasi
kalangan warga nomadik dan warga Kristen yang ditaklukkan, Saljuk membentuk
sebuah pasukan militer yang besar dari budak-budak Turki dan Kristen.
Di Saljuk juga membangun seluruh
insfratukstur Islam sunni. Beberapa ulama’Iran di datangkan untuk bertempat
tinggal di Anatolia. Sejumlah hakim (qadi’) dilantik, perguruan diberi subsidi
dengan pemberian wakaf, disediakan dana yang besar untuk biaya pendidikan
orang-orang harus masuk Islam. Dana tersebut utamanya berasal dari pungutan
pajak terhadap kampung-kampung Kristen dan atas property dewan gereja. Rezim
saljuk juga berusaha memberi kebebasan bagi persaudaraan sufi di bawah
pengendalian Negara dengan menyediakan sekolahan, tempat pertemuan dan sejumlah
waqaf kepada thariqat . secara khusus kalangan sufi sangat penting kedudukannya
di Anatolia.
2.
Masyarakat
sosial Turki Usmani
Secara tradisional, masyarakat
dinasti Utsmani terbagi menjadi kelompok elit penguasa (Askeriyye) dan rakyat
(Raiyye). Elit penguasa yang bebas dari kewajiban pajak karena mereka melayani
negara terdiri dari 4 kelompok: (1) kalangan istana (rumah tangga sultan), (2)
elit militer (seyfiyye), (3) kalangan
terpelajar yang dipekerjakan pemerintah
('ilmiyye—yang sebagiannya adalah
para ulama), dan (4) birokrat (kalemiyye).
Dalam kelompok rakyat terdapat berbagai kelompok lagi diantaranya tarikat, para
ulama yang tidak terlibat dalam pemerintahan termasuk mereka yang mengelola
sejumlah badan wakaf, para seniman, dan juga non-muslim (millets). Kelompok-kelompok
sosial yang berada di luar negara itu memiliki tingkat otonomi yang berbeda.
Penting pula untuk dicatat, kelompok-kelompok itu juga saling berinteraksi dan
kadang-kadang terlibat dalam konflik. Dalam sejarah dinasti Utsmani, negara
terus berusaha menyatukan kelompok-kelompok tersebut di bawah struktur
otoritasnya dan menjaga hubungan mereka
melalui cara yang disebut sekarang ini "checks and balances".
Sementara itu, para ulama menganggap
dirinya sebagai kelompok ilmuwan yang memiliki otoritas moral atas rakyat
(kalangan awam) dan juga penguasa. Para ulama, termasuk mereka yang
dipekerjakan oleh negara-tidak hanya terus berusaha menjaga otonomi mereka dari
negara, tetapi juga menegakkan otoritas mereka atas negara, karena mereka
memandang dirinya sebagai pihak yang merepresentasikan kalam tuhan dan hukum
Islam. Tetapi, klaim kewenangan ulama ini terus mendapatkan perlawanan dari
penguasa yang juga berusaha menegakkan kekuasaan dan superioritas mereka atas
ulama. pertentangan kekuasaan dan kewenangan ini terlihat dari seimbangnya
pengaruh sultan dan syeikhulislam (pemimpin para ulama dan biasanya dianggap setara
dengan jabatan tertinggi pegawai negeri, Grand Vizier). Sheikhuislam ditunjuk
oleh pihak kerajaan sedangkan pelantikan penguasa dinasti juga tergantung pada
fatwa dari Sheikhulislam. Ketegangan antara dua pemilik otoritas ini terlihat
dari kekuasaan sultan untuk mengangkat dan memecat Sheikhulislam (orang penting
atau yang di hormati di Islam), namun Sheikhulislam juga kadang-kadang bisa
mengeluarkan fatwa untuk menurunkan Sultan.
Perlu ditekankan disini bahwa Islam
bukanlah satu-satunya agama di Dinasti Utsmani, bahkan ummat Islam hanya
merupakan minoritas kecil di beberapa daerah. Pada tahun 1884 misalnya,
penduduk dinasti Utsmani terdiri dari 58,13% muslim, 41,39% Kristen (38,84%
diantaranya adalah Kristen Ortodoks), dan 0,48%nya adalah Yahudi. Namun
prosentasi ini berubah karena berkurangnya wilayah kekuasaan dan gelombang
migrasi, hingga akhirnya populasi muslim di wilayah dinasti ini menjadi 74%
pada tahun 1897.[6]
Meskipun mendiskusikan presentasi demografis dinasti ini tidak mungkin kita
lakukan disini, namun data ini penting untuk menjelaskan cara Dinasti Utsmani
menghadapi keragaman agama penduduknya melalui sistem otonomi komunal yang di kenal
dengan "millets".
Status dan hak seseorang ditentukan
oleh milletnya. Status dan hak tertinggi diberikan kepada Muslim sunni,
sedangkan muslim non-sunni mendapatkan status yang agak lebih rendah. Secara
formal, status dan hak warga negara Kristen dan Yahudi sebagai ahlul kitab
seharusnya diatur berdasarkan sistem dzimmi (orang-orang kafir yang
perlu di lindungi). Mereka diperbolehkan untuk tetap menganut dan melaksanakan
ajaran agamanya dengan sejumlah batasan tertentu. Tetapi mereka tidak bisa
bergabung dalam ketentaraan, menunggang kuda atau membawa senjata, menduduki
jabatan tinggi atau aktif dalam politik. Anggota komunitas dzimmi harus
berpakaian dengan cara berbeda, membayar jizyah, dan hidup dalam
lingkungan terpisah, terutama di dalam kota. Namun dalam praktinya, aturan-aturan
ini tidak dilaksanakan secara ketat. Banyak orang Kristen dan Yahudi menduduki
jabatan tinggi dan posisi yang cukup sensitif seperti duta besar dan gubernur,
serta terbebas dari kewajiban jizyah (berupa upeti atau pajak) dan
memakai pakaian tertentu.
Secara formal, komunitas Kristen dan Yahudi
harus tunduk pada beberapa batasan lain seperti larangan untuk menyelenggarakan
ritual keagamaan secara publik dan membangun rumah di wilayah muslim.
Pembatasan ini dilakukan untuk menandakan lebih rendahnya status komunitas dan
anggota dzimmi. Namun, beberapa aturan administratif yang diberlakukan
Dinasti Utsmani, seperti relokasi beberapa komunitas Kristen dan Yahudi dari beberapa provinsi ke Istanbul, dan
pembatasan tempat tinggal mereka di wilayah-wilayah tertentu, lebih dimotivasi
oleh kepentingan ekonomi negara dan akibat kondisi sosial tertentu. Relokasi
paksa diberlakukan sebagai hukuman individual atau komunal. Begitupun keharusan
memakai jenis pakaian tertentu dan membawa tanda identitas khusus. Aturan ini
merupakan kebijakan umum Dinasti Utsmani yang diberlakukan untuk
mengklasifikasikan warga negara berdasarkan kelas sosial, profesi, dan
identitas etnis keagamaan, yang tidak
hanya berlaku bagi penduduk yang berstatus dzimmi saja.
Hubungan internal dan eksternal
komunitas dzimmi diatur oleh pemimpinnya, namun harus tetap tunduk pada
aturan dinasti Utsmani. Komunitas-komunitas terpisahkan oleh perbedaan agama
dan sekte. Orang Armenia penganut Gregorian, Orang kristen Protestan dan
Katolik dianggap sebagai komunitas agama yang berbeda dan tinggal di lingkungan
yang terpisah dengan gereja dan sekolahnya masing-masing, serta berdasarkan
pada yurisdiksi hukum agama masing-masing. Gereja Ortodoks Yunani mendapatkan
otonomi dan prestise tertinggi dalam
struktur millet. Mereka memiliki keuskupan pusat di Istanbul yang menjadi pusat
keagamaan, hukum dan keuangan bagi seluruh komunitas Yunani di seluruh wilayah
dinasti. Lembaga keuskupan yang terdiri dari uskup agung dan pendeta-pendeta
utama memiliki kontrol atas urusan-urusan agama dan umum termasuk melakukan
sensor terhadap buku-buku berbahasa Yunani. Keuskupan Kristen Armenia juga
mendapatkan otonomi yang cukup signifikan, meski tak sama dengan Keuskupan
Yunani, dalam urusan-urusan keagamaan, administratif dan hukum komunitasnya.
Umat Yahudi merupakan bagian yang
penting dalam sistem millet dinasti Utsmani, apalagi setelah populasi mereka
bertambah banyak karena gelombang imigrasi dari Hungaria (1376), Perancis
(1394), serta Spanyol dan Italia pada abad ke 15. Mereka tidak punya struktur
keuskupan seperti umat Kristiani, dan posisi Rabi Agung di Istanbul pun tidak
pernah terisi hingga tahun 1835. Walaupun semua komunitas Yahudi dianggap
sebagai satu millet, namun umat Yahudi
sendiri mengorganisasi diri dalam komunitas (kahals) berbeda; tergantung pada
asal dan afiliasi kultural mereka. masing-masing kahals ini memiliki hubungan
tersendiri dengan dinasti Utsmani dan bertanggung jawab untuk menumpulkan
pajak, menyerahkan bagian tertentu kepada kas negara, menggunakan uang untuk
kegiatan komunitas, mengatur pelayanan makanan (kosher), dan menghukum pembangkang. Setiap komunitas Yahudi memiliki
sinagog, rabbi, guru, sekolah, rumah sakit dan pemakaman masing-masing. Banyak
di antara lembaga-lembaga sosial ini
memiliki dewan juri yang disebut Bet Din yaitu seorang rabi yang dipilih oleh
komunitasnya.
3. Keadaan Masyarakat
Turki Utsmani
Dalam masyarakat Utsmani
tradisional, sekolah-sekolah Islam (madrasa)
memiliki monopoli virtual dalam bidang pendidikan. Lulusannya menjadi pejabat
tinggi negara tidak hanya pada departemen ilmiyye,
tetapi juga pada departemen Seyfiyye dan
Kalemiyye. Meningkatnya jumlah
sekolah umum dan lulusannya mulai menjadi ancaman bagi dominasi sistem
pendidikan lama dan ulama yang mengontrolnya. Kompleksitas dan spesialisasi
dalam sistem hukum dinasti Utsmani yang baru juga menuntut pendirian sejumlah
institusi pendidikan hukum di luar sistem tradisional. Di sisi lain, Dinasti
Utsmani juga berusaha untuk mereformasi sistem tradisional itu sendiri, dan
membuka madrasah modern (Dar'ül-Hilafeti'l-Aliyye
Medreseleri) pada tahun 1914. Reformasi hukum merambah pada dibukanya
pengadilan-pengadilan khusus seperti pengadilan dagang pada tahun 1864.
Mengikuti model Eropa, pengadilan-pengadilan yang memiliki panel sejumlah hakim
pun mulai diperkenalkan dan an Appellate Court Pengadilan yudisial pun didirikan pada saat itu.
Kementrian Kehakiman didirikan tahun 1868 sebagai satu-satunya institusi yang
memiliki otoritas dalam bidang administrasi kehakiman. Meskipun tujuan
pendirian kementrian ini adalah untuk menstandardisasi dan mensentralisasikan
administrasi hukum di bawah satu institusi, namun dalam realitasnya berbagai
jenis pengadilan malah semakin tumbuh dan berkembang. Akibatnya, selain
Pengadilan Syari'ah, adapula pengadilan untuk non-Muslim (cemaat mahkemereli), pengadilan khusus, pengadilan panel (nizamiye mahkemereli) dan pengadilan
konsular yang dijalankan oleh kekuatan asing di bawah perjanjian Kapitulasi.
Memang ada beberapa usaha yang dilakukan untuk menyatukan pengadilan-pengadilan
itu misalnya dengan menutup pengadilan konsular yang nampak melemahkan
kedaulatan dinasti Utsmani, meniadakan pengadilan yang berbeda bagi
non-kalangan Muslim dan melimpahkan masalah-masalah perdata personal kepada
yurisdikasi pengadilan syaria'h. Namun,
usaha-usaha itu menghadapi tantangan yang cukup besar baik dari luar
maupun dari dalam.
Debat mengenai peran sekularisme mulai muncul
pada masa Dinasti Utsmani pada saat ditetapkannya Undang-Undang Dasar Pertama
pada tahun 1876. Ideologi Gerakan Turki Muda yang terkemuka, Ziya Gökalp, mencoba mengembangkan model dinasti Utsmani sekuler
yang berdasarkan perspektif penyatuan aspek-aspek terbaik tradisi Islam dan
Turki dengan modernitas Barat. Sebagai seorang sosiolog, ia berusaha
mengkombinasikan sosiologi Barat dengan Fiqih Islam dalam disiplin ilmu baru
yang dia sebut dengan "Science of The Roots of the Law" (içtimaî usul-ü fikıh) dimana ulama dan
sosiolog akan bekerjasama untuk memodernisasi hukum Islam. Perdana Menteri Said
Halim Pasha yang juga dikenal sebagai seorang pemikir sosial dan ahli ilmu
politik menentang eklektisime yang ditawarkan Ziya Gökalp dan menyerukan modernisasi fiqih melalui mekanisme
internal seperti yang pernah dilakukan Cevdet Pasha. Ismail Hakki, seorang
sarjana modernis lainnya, juga menyerukan pentingnya modernisasi Ushul Fiqih
melalui kebangkitan internal.
Perkembangan-perkembangan dalam dekade terakhir
dinasti Utsmani ini telah diinterpretasikan dengan cara yang berbeda. Satu
perspektif menyatakan bahwa perkembangan
ini merupakan konsekuensi dari sistem hukum dan peradilan yang terpisah-pisah
yang gagal memenui kebutuhan masyarakat dinasti Utsmani. Sebagian lain
mengkritik pengadopsian seluruh struktur hukum dan undang-undang Eropa sebagai
sesuatu yang tidak menghasilkan apa-apa karena pengadopsian itu gagal
mempertimbangkan struktur kultural masyarakat dinasti Utsmani. Selain itu, kelompok ini juga berpendapat bahwa
pengintegrasian norma-norma hukum Barat pada sistem hukum dinasti Utsmani
menghancurkan kesatuan sistem hukum dinasti Utsmani yang lama dan meningkatkan
ketergantungan sistem ini pada sistem hukum Barat, dan "semakin melebarkan
jalan bagi pengadopsian sistem hukum Barat secara penuh di masa yang akan
datang".
Sementara
itu, pendapat lain menyatakan bahwa walaupun usaha reformasi dinasti Utsmani
tidak pernah menghasilkan sistem hukum yang koheren dan sama, namun usaha ini
bisa juga dilihat sebagai pendekatan evolutif terhadap reformasi hukum
dan usaha untuk merevitalisasi Syari'ah dan sistem hukum dinasti Utsmani
melalui sintesa antara tradisi dan budaya hukum Islam dan Barat.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dari pemaparan
makalah di atas, dapat di simpulkan bahwa pada masa Turki Usmani pemerintahan
berdasakan kesultanan atau absolute, dan diktator. Hukum-hukumnya terbagi
menjadi tiga sistem, antara lain;
Sistem hukum pertama yaitu Pengadilan, dimana institusi resmi yang beroperasi
dibawah otoritas pemerintahan pusat di Istanbul. Pemerintah pusatlah yang
menunjuk dan membayar semua hakim dan memastikan pelaksanaan putusan mereka.
Sistem
hukum kedua adalah Kanun yang merupakan undang-undang yang ditetapkan oleh
Sultan dalam posisinya sebagai khalifah. Kanun biasanya diambil dari adat
istiadat, hingga ia bisa berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya.
Bagian
ketiga dari sistem hukum dinasti Utsmani adalah hukum dan administrasi
peradilan komunitas non-Muslim (millet).
Dengan demikian, anggota komunitas tersebut dilahirkan, menikah, bercerai, dan
disemayamkan berdasarkan hukum adat atau agama mereka masing-masing. Hukum adat
dan agama mereka juga berlaku dalam urusan-urusan yang lebih luas seperti dalam
hubungan ekonomi dan sosial.
Secara
tradisional, masyarakat dinasti Utsmani terbagi menjadi kelompok elit penguasa
(Askeriyye) dan rakyat (Raiyye). Elit penguasa yang bebas dari kewajiban pajak
karena mereka melayani negara terdiri dari 4 kelompok: (1) kalangan istana
(rumah tangga sultan), (2) elit militer (seyfiyye),
(3) kalangan terpelajar yang
dipekerjakan pemerintah ('ilmiyye—yang
sebagiannya adalah para ulama), dan (4)
birokrat (kalemiyye). Dalam
kelompok rakyat terdapat berbagai kelompok lagi diantaranya tarikat, para ulama
yang tidak terlibat dalam pemerintahan termasuk mereka yang mengelola sejumlah
badan wakaf, para seniman, dan juga non-muslim (millets).
DAFTAR PUSTAKA
Lapidus Ira M,
2000, Sejarah Sosial Umat Islam,
Jakarta: Rajawali Pers.
Syalabi Ahmad,
1988, Sejarah dan Kebudayaan Islam,
Jakarta: Kalamulia.
Tohir Ajid,
2009, Studi kawasan Dunia Islam,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Http://wikipedia.masyarakat
pada masa turki usmani.com
Http://ippbi-fiba.blogspot.com/2010/06/kepemimopinan
turki usmani.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar