I.
PENDAHULUAN
Pada Abad pertengahan
Islam ditandai dengan munculnya tiga kerajaan islam yaitu Kerajaan Turki
Ustmani, Kerajaan Syafawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India yang telah
banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan peradaban islam. Kerajaan
Usmani meraih puncak kejayaan dibawah kepemimpinan Sultan Sulaiman Al-Qanuni
(1520-1566 M) di kerajaan Syafawi, Syah Abbas I membawa kerajaan tersebut
meraih kemajuan dalam 40 tahun periode kepemerintahannya dari tahun 1588-1628
M. Dan di Kerajaan Mughal meraih masa keemasan di bawah Sultan Akbar (1542-1605
M). Berbeda dari dua kerajaan besar islam
lainnya ( usman dan Mughal ), kerajaan Syafawi menyatakan, Syi’ah
sebagai Mazhab negara. Yang beranggapan bahwa
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga
Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah
sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an
dan Islam,
guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad,
dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
II.
PEMBAHASAAN
A.
Asal-Usul
Dinasti Syafawiyah
Dinasti Syafawiyah di persia berkuasa pada tahun 1502-1722 M.
Dinasti Syafawiyah merupakan kerajaan Islam di persia yang cukup besar. Awalnya
kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil,
sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini di beri nama tarekat Syafawiyah, yang di
ambil dari nama pendirinya, yaitu Syekh Shafiuddin Ishaq ( 1252-1335 M ), dan
nama Syafawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan
politik. Bahkan nama itu terus di lestarikan setelah gerakan ini berhasil
mendirikan kerajaan, yakni kerajaan safawi.[1]
Kerajaan
syafawiyah didirikan oleh Syah Isma’il I pada tahun 1501 M di Tabriz, Iran {ketika
itu masi bernama Persia}, ibukota Kerajaan Alaq Koyunlu yang ditundukannya.
Kerajaan Alaq Koyunlu adalah kerajaan suku Turki di wilayah Iran bagian Barat.[2]
Safuddin berasal dari keturunan yang berbeda dan memili sufi sebagai jalan
hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah uang enam, Musa Al-Kazmi. Oleh karena
itu, untuk tahap selanjutnya Kerajaan Syafawi menyatakan Syi’ah sebagai mazhab
negara. Oleh karena itu kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama
dasar pertama terbentuknya negara Iran.[3]
Suatu hal yang
sanggat spektakuler dari Kerajaan Syafawi bahwa kerajaan tersebut beraliran
Syi’ah dan menjadikannya sebagai dasar keyakinan negara. Syekh Safiuddin
beraliran Syi’ah dan mempunyai pengaruh besar di daerah Persia.[4]
Uraian
di atas dapat dipahami bahwa penggagasan awal berdirinya Kerajaan Syafawi
adalah Syekh Safiuddin Ishaq yang semulah hanya sebagai mursyid tarekat dengan
tugas dakwah agar umat Islam secara murni berpegang teguh pada ajaran agama.[5]
Namaun kemudaian yang mendirikan kerajaan Syafawiyah adalah anaknya yaitu
Isma’il I yang awalnya hanya semacam tarekat kemudian dijadikan sebuah gerakan
politik yang berubah menjadi sebuah negara Islam yang besar di Persia. Kemudian
menjadikan aliran Syi’ah sebagai dasar keyakinan negara.[6]
B.
Perkembangan
Keagamaan
Perkembangan
keagamaan kerajaan Syafawiyah tidak lepas dari pengruh politik yang sudah dimulai pada masa pemerintahan Syah Isma’il
I, kemudian ke pemimpin-pemimpin seterusnya. Dia mewarisi tradisi ayah dan
kakeknya yang cenderung mengunakan kepercayaan Syi’ah ekstrem yang memandang
para pemimpinnya {imam} titisan tuhan, Syah Isma’il pun melakukan hal yang sama. Ia mengklaim
dirinya sebagai titisan Tuhan yang wakil Imam Mahdi melalui keturunan Imam
Ketujuh {Musa al-Kazim} dari dua belas Imam Syi’ah Isna Asyariyah. Dengan cara
ini, ia dapat menuntut kepatuhan mutlak dari para pendukung dan rakyatnya.
Sesungguhnya klaim seperti ini bertentangan dengan tradisi kepercayaan Syi’ah
Isna Asyariyah yang ia proklamasikan sendiri sebagai agama atau ideologi negara
dan dengan kata lain, untuk memperkukuh kekuasaan barunya, syah Isma’il
memerlukan dukungan keagamaan dan politik. Posisi kekuasaannya diletakan atas
tiga dasar : pertama, konsep kekuasaan kerajaan Persia Kuno yang tercermin
dalam konsep bahawa raja adalah ”banyanga Tuhan di bumi”. Kedua : tuntutan
kepatuhan penuh dari pengikutnya dan yang ketiga : pengakuannya bahwa ia adalah
keturunan Imam Ketujuh dan posisinya sebagai wakil Imam Mahdi.[7]
Untuk
lembaga keagamaan, misalnya ia masi mempertahankan lembaga sadarat yang
telah ada sejak Timurid. Pemegang sadr yang pertama adalah Syams Lahiji
{jilani} yang pernah maenjadi guru agama Syah Isma’il di Lahijan. Tugas uatama sadr
pada preiode awal Kerajaan Syafawi adalah menyebarluaskan ajaran Syi’ah.
Tetapi bukanlah mudah bagi Syah Isma’il untuk menggiring penduduk Persia
beralih Ideologi dari Suni ke Syi’ah, hal ini telah menimbulkan pertentangan
yang sangat serius. Untuk mewujudkan programnya Syah Isma’il tidak
segan-seganmelakukan tindakan kekerasaan. Di Bagdad dan Herat, misalnya, Syah
Isma’il membunuh secara kejam para ulama dan sastrawan Suni yang ideologi
Syi’ah.[8]
Kemudian
perkembangan keagamaan pada masa pemerintahan Syah Tahmasp, tetapi ia tidak
seperti ayahnya, Syah Tahmasp tidak mengkalim dirinya sebagai wakil imam Mahdi
dan keturunan Imam Ketujuh. Lebih jauh ia membasmi kelompok tarekat yang
memngangapnya sebagai imam Mahdi. Namun dalam hal kebijakan yang berkaitan
dengan upaya mendatangkan para ulama Syi’ah yang berada di wilayah bahasa Arab,
Syah Tahmasp meneruskan jejak ayahnya. Ulama yang paling penting dan paling
berpengaruh dari Jabal Amil, Libanon, adalah Nuruddin Ali bin Husani al-karaki
{1466-1534 M}, selanjutnya pada masa pemerintahan Syah Tahmasp , al-Karaki
memperoleh kekuasaan politik dan agama yang luar biasa. Melanjutkan kebijakan
politik keagamaan ayahnya, Syah Tahmasp terus meningkatkan upaya penyebarab
Syi’ah.[9]
Pekembangan
keagamaan pada masa Syah Abbas I, dalam hal ideologi melanjutkan kebijakan Syah
Isma’il dan Syah Tahmasp yakni mengembangkan ajaran Syi’ah. Guna lebih
memperlancar sosialisasi memapankan ajaran Syi’ah, Syah Abbas I mendirikan
lembaga pendidikan Syi’ah. Ia menunjukan ada perubahan besar dana proses
perkembangan lembaga dan sistem pendidikan Syi’ah pada permulaan abad ke-17 di
Iran terutama di ibukota Isfahan.[10]
1.
Kondisi
Pengaruh Keagamaan dalam Politik Dan Sosial Dinasti Syafawi
Kecendrungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud kongkritnya
pada masa kepemimpinan Junied ( 1447- 1460 M ). Dinasti safawi memperluas
geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan
kegiatan ini menimbulkan konflik antara Junied dengan penguasa Kara Koyunlu (
Domba Hitam ), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Di
dalam konflik tersebut, Junied kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat
baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu ( domba
putih ), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang
ketika itu menguasai sebagian besar Persia.[11]
Selama dalam pengasingan, Junaed tidak tinggal diam. Ia malah dapat
menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan.
Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada
tahun 1459 M, Junaed mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M,
ia mencoba merebut Sircassia tapi pasukan yang dipimpinya di hadang oleh
tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.[12]
Anak Junaidi yaitu Haidar ketika itu masih kecil dalam asuhan Uzun
Hasan. Oleh karena itu, kepemimpinan gerakan safawi baru dapat di serahkan
kepadanya secara resmi pada tahun 1470M. Hubungan Haidar dengan Uzun- Hasan
semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang putri Uzun Hasan. Dari
perkawinan ini ahirlah ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri kerajaan
Syafawi di Persia.
Hidar membuat perlambang baru dari pengikut tarekatnya, yaitu
surban merah mempunyai 12 jambul, sebagai lambang dari 12 imam yang di agungkan
dalam mazhab Syi’ah Itsna Asyiriyah.[13]
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M
terhadap Kara Koyunlu membuat gerakan militer Syafawi yang di pimpin
oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh Ak Koyunlu dalam meraih
kekuasaan selanjutnya. Padahal safawi adalah sekutu Ak Koyunlu. Ak Koyunlu
berusaha melenyapkan kekuasaan Dinasti Syafawi. Pasukan Haidar mengalami
kekalahan dalam suatu peperangan di wilayah Sircassia, dan Haidar terbunuh.
Kepemimpinan gerakan Syafawi selanjutnya berada di tanggan Ismail,
yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail dan
pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan
dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Siriya dan Anatolia. Pasukan yang di
persiapkan tersebut di namakan Qizilbasah ( baret merah ).
Di bawah kepemimpina Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbasah
menyerang dan mengalahkan AK Kyunlu di Sharus, dekat Nakhchivan. Pasukan ini
terus memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibukota Ak Koyunlu, dan berhasil merebut
dan mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamirkan dirinya sebagai raja
pertama Dinasti Syafawi.[14]
Ismail inilah yang dipandang sebagai pendiri yang pertama dinasti Safawiyah. [15]
Ia di sebut juga Ismail 1
Ismail berkuasa lebihkuarang 23 tahun yaitu antara tahun 1501 dan
1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya.
Ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan Ak Koyunlu di Hamadan ( 1503 M ), menguasai propinsi Kapia di
Nazandara, Gurgan, dan Yazd ( 1504 M ),
Diyar Bakr ( 1505-1507 M ), Baghdad dan daerah barat daya Persia ( 1058 M ) ,
Sirwan ( 1509 M ), dan khurusan ( 1510 M ). Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu
wilayah kekuasaan nya sudah meliputi seluruh persia dan bagian timur bulan
sabit subur ( fortile crescent )
Karena Syi’ah menjadi ajaran resmi negara, maka Shah Ismail pun
dijuluki sebagai Shah-e-Syi’ah ( rajanya orang-orang Syi’ah ). Setelah
menaklukkan Azerbeijin, markas ibukota negara selanjutnya dipusatkan di Tibriz
.[16]
Tidak sampai di situ, ambisi poloitik untuk terus mengembangkan
sayap menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke turki Usmani, nmanun Ismail
bukan hanya menghadapi musuh yang sanggat kuat, tapi juga sanggat membenci
golongan Syi’ah. Peperangan dengan turki usmani terjadi pada tahun 1514 M di
Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keungulan organisasi militer kerajaan
Usmani, dalam peperangan ini Ismail
mengalami kekalahan, malah Turki Usmani dibawah Pimpinan Sultan Salim daqpat
emnduduki Tabriz. Kerajaan Usmani terselamatkan dengan Pulangnya Sultan Usmani
ke Turki karena terjadi perpecahan militer Turki di negrinya.[17]
Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri
Ismail. Akibatnya, kehidupan Ismail 1 beruba, Ia lebih senang menyendiri,
menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan ini menimbulkan dampak
negatif bagi kerajaan Syafawi, yaitu terjadinya persaingan segi tiga antar
pemimpin suku-suku turki, pejabat-pejabat keturunan persia, dan Qizilbash dalam
merebut pengaruh untuk memimpin kerajaan Syafawi. 31
Rasa permusuhan dengan kerajaan Usmani terus berlangsung sepeningal
ismail,. Peperangan–peperangan antara dua kerajan besar islam ini terjadi beberapa
kali pada zaman pemerintahan Tahmasp 1 (1524-1576 M ), Ismail II, ( 1576-1577 M), dan Muhammad
Khudabanda ( 1577-1587 M ), pada masa tiga raja tersebut, kerajaan Safawi dalam
keadaan lemah. Disamping karena sering terjadi peperangan melawan kerajaan
Usmani yang lebih kuat, juga karena sering terjadi pertentangan antara
kelompok- kelompok di dalam negri.
Kondisi memperihatinkan ini baru bisa di atasi setelah raja Syafawi
kelima, Abbas I, naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588 sampai dengan 1628M.[18]
Langkah-langkah yang di tempuh oleh abas I dalam rangka memulihkan kerajaan
Safawi ialah : pertama, berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas
kerajaan Syafawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri
dari budak-budak, berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, armenia, Dan
Sircassia yang telah ada sejak Tahmasp I.[19]
Keduan, mengadakan perjanjian Damai dengan Turki Usmani. Untuk mewujudkan
perjanjian ini, Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia,
di sebagian wilayah Luristan. Disamping itu, Abbas berjanji tidak akan menghina
tiga khalifah dalam Islam ( Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, dan Usman ) dalam
khotbah-khotbah jumat. Sebagai jaminan atas syarat-syarat itu, ia menyerahkan
saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagai sandra di Istambul.[20]
Usaha-usaha yang di lakukan Abbas I tersebut berhasil membuat
kerajaan Syafawi kuat kembali. Setelah itu, Abbas I mulai memutuskan
perhatiannya ke luar dengan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah
kekuasaannya yangh hilang. Pada tahun 1598 M, ia menyerang dan menaklukkan
Herat. Dari sana, Ia melanjutkan seranggan merebut Marw dan Balkh. Setelah
kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya dari Turki Usmani. rasa
permusuhan antara dua kerajaan berbeda aliran agama ini memang tidak pernah
padam sama sekali. Abas I mengerahkan serangan-serangannya kewilayah kekuasaan
kerajaan turki Usmani itu. Pada tahun 1602 M, di saat Turki Usmani berada
dibawah Sultan Muhammad III, pasukan AbbasI menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad.
Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat di kuasai tahun
1605-1606 M. Selanjutnya, pada tahun 1622 M pasukan Abbas I berhasil merebut
kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas. [21]
Berbeda dengan dua kerajaan islam
lainnya ( Usmani dan Mughal ) Kerajaan Syafawi menyatakan, Syi’ah sebagai
mazhab Negara. Sehingga kerajaan ini dianggap sebagai pelekat pertama dasar
terbentuknya negara Iran saat ini. Berikut urutan penguasa kerajaan Syafawi :
No
|
Nama
Penguasah
|
Masa
Jabatan
|
1
|
Isma’il
I
|
1501-1524
M
|
2
|
Tahmasp
|
1524-1576
M
|
3
|
Isma’il
II
|
1576-1577
M
|
4
|
Muhammad
Khudabanda
|
1577-1587
M
|
5
|
Abbas
I
|
1587-1628
M
|
6
|
Safi
Miza
|
1628-1642
M
|
7
|
Abbas
II
|
1642-1667
M
|
8
|
Sulaiman
|
1667-1694
M
|
9
|
Husein
I
|
1694-1722
M
|
10
|
Tahmash
II
|
1722-1732
M
|
11
|
Abbas
III
|
1732-1736
M
|
2.
Kondisi Agama
Pada masa
Abbas, kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khalifah-khalifah sebelumnya
yang senantiasa memaksakan agar Syi’ah menjadi agama negara, tetapi ia
menanamkan sikap toleransi dan lapang dada yang amat besar. Paham Syi’ah tidak
lagi menjadi paksaan, bahkan orang Sunni dapat hidup bebas mengerjakan
ibadanya. Bukan hanya itu saja, pendeta-pendeta Nasrani doperpolekan
mengembangkan ajaran agamanya dengan leluasa sebab sudah banyak bangsa Armenia
yang telah menjadai penduduk setia di kota Isfahan.[22]
III.
PENUTUP
Kesimpulan.
Kerajaan
Syafawiyah merupakan kerajaan Islam yang termasuk kerajaan besar saat itu. Pada
masa tersebut ilmu pengetahuan, seni, maupun politiknya mengalami kemajuan. Hal
ini didorong oleh suatu fakta bahwa orang-orang Persia (mayoritas penduduk
kerajaan Safawi adalah bangsa Persia) adalah bangsa yang mencintai seni dan
ilmu pengetahuan. Selain itu keberadaan kerajaan Safawiyah yang berada di
Persia juga mempengaruhi madzhab resmi negara monarkhi tersebut. Kerajaan
Syafawiyah menganut madhab Syi’ah sebagai mazhab resmi negara.
Pada dasarnya sistem dan praktik pendidikan
pada masa dinasti Syafawi ini didominasi oleh tiga jenis pendidikan, pertama
pendidikan indoktrinatif sebagai kurikulum inti untuk menetapkan paham Syi’ah.
kedua pendidikan estetika dan penekananya pada seni karya yang diharapkan mampu
mendukung sektor industri dan perdangan dinasti syafawi. dan ketiga yaitu
pendidikan militer dan menajemen pemerintahan, ditujukan untuk memperkuat
armada perang sebagai pertahanan pemerintah dan profesionalisme pengelolaan
administrasi pemerintahan.
REFRENSI
1.Taufik
Abdulah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khalifah,Jakarta :PT
Ichitar Baru Van Hoeve, jilid-2.2002
2.Dedi
Supriyadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam,Bandung :Pustaka Setia 2008
3.Dr. Badri Yatim, M.A.,
Sejarah peradapan Islam, Jakarta, : Raja Grafindo Persada, 2000,
4.Hamka,
Sejarah Umat Islam, Jilid III, (
Jakarta: Bulan Bintang, 1981, Cetakan keempat),
5.P.M. Holt, Dkk, ( ed), Tha
Cambridge History Of Islam, Vol.IA, ( london: Cambridge University Prees,
1970 ),
6.Carl
Brockelmann, Tarikh al-syu’ub
al-Islamiyah, ( Beirut: Dar Al-‘Ilm, 1974)
7.H. Abdul
Karim. Sejarah pemikiran dan peradapan
dan peradapan islam. Yogyakarta: pustaka book publizer, ( cetakan 1, 2007
),
[1] . Dr.
Badri Yatim, M.A., Sejarah peradapan
Islam, Jakarta, : Raja Grafindo Persada, 2000, Hlm.138
[2] Tauik Abdulah
dkk, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Kahlifah, Jakarta, PT Ichitar
Baru Van Hoeve.,jilid-2,hlm 263
[3] Dr. Badri Yatim.
[11] . P.M.
Holt, Dkk, ( ed), Tha Cambridge History
Of Islam, Vol.IA, ( london: Cambridge University Prees, 1970 ), Hal. 394
[14] .Badri
yatim,. hal. 141.
[15] .hamka,.
Hal 61.
[16] H.
Abdul Karim. Sejarah pemikiran dan
peradapan dan peradapan islam. Yogyakarta: pustaka book publizer, ( cetakan
1, 2007 ), hal 306
[17] Dedi
Supriyadi.,hlm.255
[18] .
P.M.Holt, Hlm. 401-413
[19] .Ibid. Hlm. 417
[20] .Carl
Borckelmann., hlm.503
[21] . Ibid., hlm. 503-504.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar