Senin, 12 Mei 2014

DINASTI SAFAWI

I.                   PENDAHULUAN
Pada Abad pertengahan Islam ditandai dengan munculnya tiga kerajaan islam yaitu Kerajaan Turki Ustmani, Kerajaan Syafawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India yang telah banyak memberikan kontribusi bagi perkembangan peradaban islam.  Kerajaan Usmani meraih puncak kejayaan dibawah kepemimpinan Sultan Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566 M) di kerajaan Syafawi, Syah Abbas I membawa kerajaan tersebut meraih kemajuan dalam 40 tahun periode kepemerintahannya dari tahun 1588-1628 M. Dan di Kerajaan Mughal meraih masa keemasan di bawah Sultan Akbar (1542-1605 M). Berbeda dari dua kerajaan besar islam  lainnya ( usman dan Mughal ), kerajaan Syafawi menyatakan, Syi’ah sebagai Mazhab negara. Yang beranggapan bahwa Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
II.                PEMBAHASAAN
A.     Asal-Usul Dinasti Syafawiyah
Dinasti Syafawiyah di persia berkuasa pada tahun 1502-1722 M. Dinasti Syafawiyah merupakan kerajaan Islam di persia yang cukup besar. Awalnya kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini di beri nama tarekat Syafawiyah, yang di ambil dari nama pendirinya, yaitu Syekh Shafiuddin Ishaq ( 1252-1335 M ), dan nama Syafawi itu terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus di lestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan safawi.[1]
Kerajaan syafawiyah didirikan oleh Syah Isma’il I pada tahun 1501 M di Tabriz, Iran {ketika itu masi bernama Persia}, ibukota Kerajaan Alaq Koyunlu yang ditundukannya. Kerajaan Alaq Koyunlu adalah kerajaan suku Turki di wilayah Iran bagian Barat.[2] Safuddin berasal dari keturunan yang berbeda dan memili sufi sebagai jalan hidupnya. Ia keturunan dari Imam Syi’ah uang enam, Musa Al-Kazmi. Oleh karena itu, untuk tahap selanjutnya Kerajaan Syafawi menyatakan Syi’ah sebagai mazhab negara. Oleh karena itu kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama dasar pertama terbentuknya negara Iran.[3]
Suatu hal yang sanggat spektakuler dari Kerajaan Syafawi bahwa kerajaan tersebut beraliran Syi’ah dan menjadikannya sebagai dasar keyakinan negara. Syekh Safiuddin beraliran Syi’ah dan mempunyai pengaruh besar di daerah Persia.[4]
Uraian di atas dapat dipahami bahwa penggagasan awal berdirinya Kerajaan Syafawi adalah Syekh Safiuddin Ishaq yang semulah hanya sebagai mursyid tarekat dengan tugas dakwah agar umat Islam secara murni berpegang teguh pada ajaran agama.[5] Namaun kemudaian yang mendirikan kerajaan Syafawiyah adalah anaknya yaitu Isma’il I yang awalnya hanya semacam tarekat kemudian dijadikan sebuah gerakan politik yang berubah menjadi sebuah negara Islam yang besar di Persia. Kemudian menjadikan aliran Syi’ah sebagai dasar keyakinan negara.[6]
B.     Perkembangan Keagamaan
Perkembangan keagamaan kerajaan Syafawiyah tidak lepas dari pengruh politik yang sudah  dimulai pada masa pemerintahan Syah Isma’il I, kemudian ke pemimpin-pemimpin seterusnya. Dia mewarisi tradisi ayah dan kakeknya yang cenderung mengunakan kepercayaan Syi’ah ekstrem yang memandang para pemimpinnya {imam} titisan tuhan, Syah Isma’il  pun melakukan hal yang sama. Ia mengklaim dirinya sebagai titisan Tuhan yang wakil Imam Mahdi melalui keturunan Imam Ketujuh {Musa al-Kazim} dari dua belas Imam Syi’ah Isna Asyariyah. Dengan cara ini, ia dapat menuntut kepatuhan mutlak dari para pendukung dan rakyatnya. Sesungguhnya klaim seperti ini bertentangan dengan tradisi kepercayaan Syi’ah Isna Asyariyah yang ia proklamasikan sendiri sebagai agama atau ideologi negara dan dengan kata lain, untuk memperkukuh kekuasaan barunya, syah Isma’il memerlukan dukungan keagamaan dan politik. Posisi kekuasaannya diletakan atas tiga dasar : pertama, konsep kekuasaan kerajaan Persia Kuno yang tercermin dalam konsep bahawa raja adalah ”banyanga Tuhan di bumi”. Kedua : tuntutan kepatuhan penuh dari pengikutnya dan yang ketiga : pengakuannya bahwa ia adalah keturunan Imam Ketujuh dan posisinya sebagai wakil Imam Mahdi.[7]
Untuk lembaga keagamaan, misalnya ia masi mempertahankan lembaga sadarat yang telah ada sejak Timurid. Pemegang sadr yang pertama adalah Syams Lahiji {jilani} yang pernah maenjadi guru agama Syah Isma’il di Lahijan. Tugas uatama sadr pada preiode awal Kerajaan Syafawi adalah menyebarluaskan ajaran Syi’ah. Tetapi bukanlah mudah bagi Syah Isma’il untuk menggiring penduduk Persia beralih Ideologi dari Suni ke Syi’ah, hal ini telah menimbulkan pertentangan yang sangat serius. Untuk mewujudkan programnya Syah Isma’il tidak segan-seganmelakukan tindakan kekerasaan. Di Bagdad dan Herat, misalnya, Syah Isma’il membunuh secara kejam para ulama dan sastrawan Suni yang ideologi Syi’ah.[8]
Kemudian perkembangan keagamaan pada masa pemerintahan Syah Tahmasp, tetapi ia tidak seperti ayahnya, Syah Tahmasp tidak mengkalim dirinya sebagai wakil imam Mahdi dan keturunan Imam Ketujuh. Lebih jauh ia membasmi kelompok tarekat yang memngangapnya sebagai imam Mahdi. Namun dalam hal kebijakan yang berkaitan dengan upaya mendatangkan para ulama Syi’ah yang berada di wilayah bahasa Arab, Syah Tahmasp meneruskan jejak ayahnya. Ulama yang paling penting dan paling berpengaruh dari Jabal Amil, Libanon, adalah Nuruddin Ali bin Husani al-karaki {1466-1534 M}, selanjutnya pada masa pemerintahan Syah Tahmasp , al-Karaki memperoleh kekuasaan politik dan agama yang luar biasa. Melanjutkan kebijakan politik keagamaan ayahnya, Syah Tahmasp terus meningkatkan upaya penyebarab Syi’ah.[9]
Pekembangan keagamaan pada masa Syah Abbas I, dalam hal ideologi melanjutkan kebijakan Syah Isma’il dan Syah Tahmasp yakni mengembangkan ajaran Syi’ah. Guna lebih memperlancar sosialisasi memapankan ajaran Syi’ah, Syah Abbas I mendirikan lembaga pendidikan Syi’ah. Ia menunjukan ada perubahan besar dana proses perkembangan lembaga dan sistem pendidikan Syi’ah pada permulaan abad ke-17 di Iran terutama di ibukota Isfahan.[10]
1.       Kondisi Pengaruh Keagamaan dalam Politik Dan Sosial Dinasti Syafawi
Kecendrungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud kongkritnya pada masa kepemimpinan Junied ( 1447- 1460 M ). Dinasti safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Junied dengan penguasa Kara Koyunlu ( Domba Hitam ), salah satu suku bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Di dalam konflik tersebut, Junied kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AK-Koyunlu ( domba putih ), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia.[11]
Selama dalam pengasingan, Junaed tidak tinggal diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Junaed mencoba merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia tapi pasukan yang dipimpinya di hadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.[12]
Anak Junaidi yaitu Haidar ketika itu masih kecil dalam asuhan Uzun Hasan. Oleh karena itu, kepemimpinan gerakan safawi baru dapat di serahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470M. Hubungan Haidar dengan Uzun- Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini ahirlah ismail yang di kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Syafawi di Persia.
Hidar membuat perlambang baru dari pengikut tarekatnya, yaitu surban merah mempunyai 12 jambul, sebagai lambang dari 12 imam yang di agungkan dalam mazhab Syi’ah Itsna Asyiriyah.[13]
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M  terhadap Kara Koyunlu membuat gerakan militer Syafawi yang di pimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh Ak Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal safawi adalah sekutu Ak Koyunlu. Ak Koyunlu berusaha melenyapkan kekuasaan Dinasti Syafawi. Pasukan Haidar mengalami kekalahan dalam suatu peperangan di wilayah Sircassia, dan Haidar terbunuh.
Kepemimpinan gerakan Syafawi selanjutnya berada di tanggan Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail dan pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Siriya dan Anatolia. Pasukan yang di persiapkan tersebut di namakan Qizilbasah ( baret merah ).
Di bawah kepemimpina Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbasah menyerang dan mengalahkan AK Kyunlu di Sharus, dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus memasuki dan menaklukkan Tabriz, ibukota Ak Koyunlu, dan berhasil merebut dan mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamirkan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Syafawi.[14] Ismail inilah yang dipandang sebagai pendiri yang pertama dinasti Safawiyah. [15] Ia di sebut juga Ismail 1
Ismail berkuasa lebihkuarang 23 tahun yaitu antara tahun 1501 dan 1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya. Ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan Ak Koyunlu di Hamadan  ( 1503 M ), menguasai propinsi Kapia di Nazandara,  Gurgan, dan Yazd ( 1504 M ), Diyar Bakr ( 1505-1507 M ), Baghdad dan daerah barat daya Persia ( 1058 M ) , Sirwan ( 1509 M ), dan khurusan ( 1510 M ). Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaan nya sudah meliputi seluruh persia dan bagian timur bulan sabit subur ( fortile crescent )
Karena Syi’ah menjadi ajaran resmi negara, maka Shah Ismail pun dijuluki sebagai Shah-e-Syi’ah ( rajanya orang-orang Syi’ah ). Setelah menaklukkan Azerbeijin, markas ibukota negara selanjutnya dipusatkan di Tibriz .[16]
Tidak sampai di situ, ambisi poloitik untuk terus mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke turki Usmani, nmanun Ismail bukan hanya menghadapi musuh yang sanggat kuat, tapi juga sanggat membenci golongan Syi’ah. Peperangan dengan turki usmani terjadi pada tahun 1514 M di Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keungulan organisasi militer kerajaan Usmani,  dalam peperangan ini Ismail mengalami kekalahan, malah Turki Usmani dibawah Pimpinan Sultan Salim daqpat emnduduki Tabriz. Kerajaan Usmani terselamatkan dengan Pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan militer Turki di negrinya.[17]
Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya, kehidupan Ismail 1 beruba, Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan ini menimbulkan dampak negatif bagi kerajaan Syafawi, yaitu terjadinya persaingan segi tiga antar pemimpin suku-suku turki, pejabat-pejabat keturunan persia, dan Qizilbash dalam merebut pengaruh untuk memimpin kerajaan Syafawi. 31
Rasa permusuhan dengan kerajaan Usmani terus berlangsung sepeningal ismail,. Peperangan–peperangan antara dua kerajan besar islam ini terjadi beberapa kali pada zaman pemerintahan Tahmasp 1 (1524-1576 M ),  Ismail II, ( 1576-1577 M), dan Muhammad Khudabanda ( 1577-1587 M ), pada masa tiga raja tersebut, kerajaan Safawi dalam keadaan lemah. Disamping karena sering terjadi peperangan melawan kerajaan Usmani yang lebih kuat, juga karena sering terjadi pertentangan antara kelompok- kelompok di dalam negri.
Kondisi memperihatinkan ini baru bisa di atasi setelah raja Syafawi kelima, Abbas I, naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588 sampai dengan 1628M.[18] Langkah-langkah yang di tempuh oleh abas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi ialah : pertama, berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Syafawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak, berasal dari tawanan perang bangsa Georgia, armenia, Dan Sircassia yang telah ada sejak Tahmasp I.[19] Keduan, mengadakan perjanjian Damai dengan Turki Usmani. Untuk mewujudkan perjanjian ini, Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, di sebagian wilayah Luristan. Disamping itu, Abbas berjanji tidak akan menghina tiga khalifah dalam Islam ( Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, dan Usman ) dalam khotbah-khotbah jumat. Sebagai jaminan atas syarat-syarat itu, ia menyerahkan saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagai sandra di Istambul.[20]
Usaha-usaha yang di lakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Syafawi kuat kembali. Setelah itu, Abbas I mulai memutuskan perhatiannya ke luar dengan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yangh hilang. Pada tahun 1598 M, ia menyerang dan menaklukkan Herat. Dari sana, Ia melanjutkan seranggan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha mendapatkan kembali  wilayah kekuasaannya dari Turki Usmani. rasa permusuhan antara dua kerajaan berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam sama sekali. Abas I mengerahkan serangan-serangannya kewilayah kekuasaan kerajaan turki Usmani itu. Pada tahun 1602 M, di saat Turki Usmani berada dibawah Sultan Muhammad III, pasukan AbbasI menyerang dan berhasil  menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, dan Tiflis dapat di kuasai tahun 1605-1606 M. Selanjutnya, pada tahun 1622 M pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan Bandar Abbas. [21]
Berbeda dengan dua kerajaan islam lainnya ( Usmani dan Mughal ) Kerajaan Syafawi menyatakan, Syi’ah sebagai mazhab Negara. Sehingga kerajaan ini dianggap sebagai pelekat pertama dasar terbentuknya negara Iran saat ini. Berikut urutan penguasa kerajaan Syafawi :
No
Nama Penguasah
Masa Jabatan
1
Isma’il I
1501-1524 M
2
Tahmasp
1524-1576 M
3
Isma’il II
1576-1577 M
4
Muhammad Khudabanda
1577-1587 M
5
Abbas I
1587-1628 M
6
Safi Miza
1628-1642 M
7
Abbas II
1642-1667 M
8
Sulaiman
1667-1694 M
9
Husein I
1694-1722 M
10
Tahmash II
1722-1732 M
11
Abbas III
1732-1736 M


2.      Kondisi Agama
Pada masa Abbas, kebijakan keagamaan tidak lagi seperti masa khalifah-khalifah sebelumnya yang senantiasa memaksakan agar Syi’ah menjadi agama negara, tetapi ia menanamkan sikap toleransi dan lapang dada yang amat besar. Paham Syi’ah tidak lagi menjadi paksaan, bahkan orang Sunni dapat hidup bebas mengerjakan ibadanya. Bukan hanya itu saja, pendeta-pendeta Nasrani doperpolekan mengembangkan ajaran agamanya dengan leluasa sebab sudah banyak bangsa Armenia yang telah menjadai penduduk setia di kota Isfahan.[22]














III.             PENUTUP
Kesimpulan.
            Kerajaan Syafawiyah merupakan kerajaan Islam yang termasuk kerajaan besar saat itu. Pada masa tersebut ilmu pengetahuan, seni, maupun politiknya mengalami kemajuan. Hal ini didorong oleh suatu fakta bahwa orang-orang Persia (mayoritas penduduk kerajaan Safawi adalah bangsa Persia) adalah bangsa yang mencintai seni dan ilmu pengetahuan. Selain itu keberadaan kerajaan Safawiyah yang berada di Persia juga mempengaruhi madzhab resmi negara monarkhi tersebut. Kerajaan Syafawiyah menganut madhab Syi’ah sebagai mazhab resmi negara.

 Pada dasarnya sistem dan praktik pendidikan pada masa dinasti Syafawi ini didominasi oleh tiga jenis pendidikan, pertama pendidikan indoktrinatif sebagai kurikulum inti untuk menetapkan paham Syi’ah. kedua pendidikan estetika dan penekananya pada seni karya yang diharapkan mampu mendukung sektor industri dan perdangan dinasti syafawi. dan ketiga yaitu pendidikan militer dan menajemen pemerintahan, ditujukan untuk memperkuat armada perang sebagai pertahanan pemerintah dan profesionalisme pengelolaan administrasi pemerintahan.












REFRENSI
1.Taufik Abdulah, dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khalifah,Jakarta :PT Ichitar Baru Van Hoeve, jilid-2.2002
2.Dedi Supriyadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam,Bandung :Pustaka Setia 2008
3.Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah peradapan Islam, Jakarta, : Raja Grafindo Persada, 2000,
4.Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1981, Cetakan keempat),
5.P.M. Holt, Dkk, ( ed), Tha Cambridge History Of Islam, Vol.IA, ( london: Cambridge University Prees, 1970 ),
6.Carl Brockelmann, Tarikh al-syu’ub al-Islamiyah, ( Beirut: Dar Al-‘Ilm, 1974)
7.H. Abdul Karim. Sejarah pemikiran dan peradapan dan peradapan islam. Yogyakarta: pustaka book publizer, ( cetakan 1, 2007 ),




[1] . Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah peradapan Islam, Jakarta, : Raja Grafindo Persada, 2000, Hlm.138
[2] Tauik Abdulah dkk, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Kahlifah, Jakarta, PT Ichitar Baru Van Hoeve.,jilid-2,hlm 263
[3] Dr. Badri Yatim.
[4] Dedi Supriyadi,2008,Sejarah Peradaban Islam,Bandung: Pustaka Setia.,hlm.254
[5] Ibid.,
[6] Taufik Abdulah.,hlm 263
[7] Ibid.,hlm.266
[8] Ibid.,hlm.266-267
[9] Ibid.,hlm.267
[10] Ibid.,hlm.268
[11] . P.M. Holt, Dkk, ( ed), Tha Cambridge History Of Islam, Vol.IA, ( london: Cambridge University Prees, 1970 ), Hal. 394
[12] .Carl Brockelmann, Tarikh al-syu’ub al-Islamiyah, ( Beirut: Dar Al-‘Ilm, 1974), hal.494
[13] .Hamka,1981, Sejarah Umat Islam.Jakarta:Bulan Bintang, Jilid-3hlm. 189
[14] .Badri yatim,. hal. 141.
[15] .hamka,. Hal 61.
[16] H. Abdul Karim. Sejarah pemikiran dan peradapan dan peradapan islam. Yogyakarta: pustaka book publizer, ( cetakan 1, 2007 ), hal 306
[17] Dedi Supriyadi.,hlm.255
[18] . P.M.Holt, Hlm. 401-413
[19] .Ibid. Hlm. 417
[20] .Carl Borckelmann., hlm.503
[21] . Ibid., hlm. 503-504.
[22] Hamka.,hlm.70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar