PERBANDINGAN
KEMUNDURAN
KERAJAAN SAFAWI DAN QAJAR
D
I
S
U
S
U
N
Oleh
:
Lusi
Listanti (10 42 0015)
Dosen
pembimbing :
Padila,
S.S., M.Hum
FAKULTAS
ADAB
JURUSAN
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2012
PENDAHULUAN
Cemerlangnya peradaban Islam, berjaya pada masa Dinasti Umayyah dan
Abbasiyah. Sekian abad kejayaan Islam, berakhir setelah serangan Mongol
terhadap seljuk pada tahun 1300 M, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran
secara drastis. Wilayah kekuasaannya tecabik-cabik dalam beberapa kerajaan
kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya
dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu.
Namun, kamalangan tidak berhenti sampai di situ. Timur Lenk, pemimpin bangsa
mongol saat itu, juga menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Setelah Dinasti Abbasiyah mengalami kehancuran, kondisi politik
umat Islam secara keseluruhan mengalami kemajuan, umat Islam bangkit kembali
setelah terbentuknya tiga kerajaan besar yaitu : Kerajaan Turki Usmani,
Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India.
Kerajaan Usmani di samping yang pertama berdiri, juga yang terbesar
dan paling lama bertahan dibanding kedua kerajaan lainnya. Turki Usmani
dianggap sebagai dinasti yang mampu menghimpun kembali umat Islam setelah
beberapa lama mengalami kemunduran politik.
Pada waktu kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaan,
kerajaan Safawi di Persia masih baru berdiri. Gerakan Safawiyah memprakarsai
penaklukan Iran dan mendirikan sebuah baru yang berkuasa dari 1501 sampai 1722.
Sang pendiri mengawali gerakannya dengan seruan untuk memburnikan dan memulihkan
kembali ajaran Islam.
Namun pada kenyataannya, kerajaan ini dapat berkembang dengan
cepat. Nama safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat Safawiyah menjadi
gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi.
Kerajaan ini mampu mempersatukan seluruh daerah Persia sebagai satu negara yang
besar dan independen.
Kerajaan Mughal berdiri, setelah seperempat abad berdirinya
kerajaan Safawi, kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kotanya.
kerajaan Mughal bukanlah kerajan Islam pertama di anak Benua India. Awal
kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa khalifah al-Walid dari
Dinasti Bani Umayyah. Akan tetapi Kerajaan Mughal termasuk salah satu kerajaan
yang sangat berperan penting dalam membangun peradaban Islam.
Dinasti Qojar adalah kerajaan
yang menguasai negeri Iran selama abad ke-19 M, sampai awal abad ke-20 M. Di
zaman itu Iran sudah menghadapi perubahan-perubahan dunia baru, sejak
bangkitnya Napoleon Bonaparte dan terdesaknya kerajaan Turki Usmani. Apalagi
dengan jatuhnya kekuasaan kerajaan Mongol terakhir di anak benua India. Iran
hidup terjepit di antara dua kekuasaan raksasa Inggris dan
Rusia. Saat itulah munculnya kerajaan Qojariyah.
PEMBAHASAN
A.
KERAJAAN SAFAWI
Peta dinasti safawi di persia
|
1.
Asal Mula Berdirinya Dinasti Safawi.
Mirip dengan
asal usul Dinasti Murabithun dan Muwahhidun di Afrika Utara, kerajaan Shafawi
berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di
Azarbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu
yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Utsmani[1].
Nama Safawiyah diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama
Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.
Bahkan, masih dipertahankan sampai gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan[2].
Safi Al-Din
yang lahir pada 1252/ 650 M, ia mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia
menggantikan guru sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Pengikut tarekat
ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah
ini bertujuan memerangi orang-orang ingkar, dan golongan yang mereka sebut
ahli-ahli bid’ah. Tarekat ini menjadi semakin penting setelah Safi Al-Din
mengubah bentuk tarekat ini dari pengajian Tasawuf murni yang bersifat lokal
menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan
Anatolia. Di luar negeri-negeri Ardabil Safi menempatkan seorang wakil yang
memimpin murid- muridnya. Wakil itu diberi gelar Khalifah. Lama kelamaan
murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik
dalam kepercayaan, dan menentang setiap orang yang bermadzab selain syi’ah[3].
Kecenderungan
memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkretnya pada masa kepemimpinan
Juneid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan
kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan
konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (Domba Hitam), salah satu
bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik itu Juneid kalah dan
diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru itu ia mendapat perlindungan dari
penguasa Diyar Bakr, Ak koyunlu (Domba Putih) yang juga merupakan suku bangsa
Turki. Ia tinggal di Istana Uzu Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar
Persia. Perlu diketahui juga bahwa dua kerajaan Turki, yakni Kara Koyunlu yang
berkuasa di bagian Timur beraliran syi’ah sedangkan Ak koyunlu yang berkuasa di
bagian Barat beraliran Sunni[4].
Selama dalam
pengasingan Junaed tidak tinggal diam. Ia menghimpun kekuatan untuk kemudian
beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting
salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Junaed berusaha
merebut Ardabil tetapi gagal. Tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircasia tetapi
pasukan yang dipimpinya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam
pertempuran tersebut.
Ketika itu anak
Juneid bernama Haidar masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu,
kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi tahun
1470 M. Hubungan Haidar dan Uzun Hazan semakin dekat setelah Haidar mengawini
putri Uzun Hasan. Dari perkawinan itu lahirlah Ismail yang kemudian hari
menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia. Haidar membuat perlambangan baru dari
pengikut tarekatnya, yaitu serban merah mempunyai 12 jambul, sebagai lambang
dari 12 imam yang diagungkan dalam mazhab Syi’ah Istna Asyariah.
Kemenangan Ak
Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Koyunlu, membuat gerakan Safawi yang
dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh Ak Koyunlu dalam
meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal sebelumnya Safawi adalah sekutu Ak
Koyunlu. Ak Koyunlu berusaha melenyapkan kekutan militer dan kekuasaan Dinasti
Safawi. Karena itu ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan
Sirwan, Ak Koyunlu mengirim bantuan pada pasukan Sirwan, sehinga pasukan Haidar
kalah dan Haidar terbunuh.
Ali, putra dan
pengganti Haidar didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas
kematian ayahnya, terutama terhadap Ak Koyunlu. Tetapi Ya’kub Pemimpin Ak
Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim,
Ismail dan Ibunya di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493 M)[5].
Mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota Ak Koyunlu dengan syarat mau
membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara sepupu Rustam dapat
dikalahkan. Ali bersama saudaranya kembali ke Ardabil. Tetapi, tidak lama
kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali
terbunuh dalam serangan itu pada tahun 1494 M[6].
Kepemimpinan
gerakan Safawi selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia
tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan,
mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azarbaijan,
Syiria, Anatolia. Pasukan yang dipersiapkannya itu dinamai Qizilbash (Baret
Merah)[7].
Di bawah
kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan
mengalahkan Ak Koyunlu di Sharur, dekat Nackhcivan. Pasukan ini terus berusaha
memasuki dan menaklukan Tabriz, ibu kota Ak Koyunlu dan berhasil merebut dan
mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama
di dinasti Safawi, yang kemudian disebut Ismail I[8].
1.
Perkembangan Dinasti Safawi.
Pada waktu kerajaan Turki Utsmani sudah mencapai puncak
kejayaannya, kerajaan Safawi di Persia masih baru berdiri. Namun pada
kenyataannya, kerajaan ini berkembang dengan cepat. Nama Safawi ini terus
dipertahankan sampai tarekat Safawiyah menjadi suatu gerakan politik dan menjadi
sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi. Dalam perkembangannya, kerajaan
Safawi sering berselisih dengan kerajaan Turki Utsmani. Kerajaan Safawi
mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam lainnya seperti kerajaan
Turki Utsmani dan Mughal[9].
Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut Syi’ah dan dijadikan sebagai madzhab
negara. Oleh karena itu, kerajaan Safawi dianggap sebagai peletak dasar pertama
terbentuknya negara Iran dewasa ini.
Ismail I berkuasa kurang lebih selama 23 tahun, yaitu
antara tahun 1501- 1524 M. Pada sepuluh tahun pertama, ia berhasil memperluas
wilayah kekuasaanya. Ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan Ak Koyunlu di
Amadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd
(1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M), Baghdad dan daerah barat daya Persia (1508
M), Sirwan (1509 M), dan Khurasan (1510 M). Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu
wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit
Timur (Fortile
Crescent)[10].
Tidak sampai disitu, ambisi politik mendorongnya untuk
terus melebarkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke Turki
Utsmani. Namun, Ismail bukan hanya menghadapi musuh yang sangat kuat, tetapi
juga sangat membenci golongan Syi’ah. Peperangan dengan Turki Utsmani terjadi
pada tahun 1514 M, di Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keunggulan organisasi
militer kerajaan Utsmani, Ismail I mengalami kekalahan, malah Turki Utsmani di bawah
pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan
dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan di kalangan
militer Turki di Negerinya. Peperangan ini, seperti para sejarawan menduga,
bisa jadi berasal dari kebencian Sultan Salim dan pengejaran terhadap seluruh
umat muslim Syi’ah di daerah kekuasaannya. Fanatisme Sultan Salim memaksanya
membunuh 40.000 orang yang didakwa telah mengingkari ajaran-ajaran Sunni.
Secara militer, Syah Ismail dan para penerusnya harus
menghadapi permusuhan sengit dari tetangga-tetangga mereka yang sunni,
Utsmaniyah di barat dan Ozbeg
Turkmen di timur laut. Di tapal batas Oxuz, para syah
cukup dapat mempertahankan milik mereka meskipun kota-kota perbatasan seperti
Heart, Masyhad, dan Sarakh sering berpindah tangan, tetapi serangan Turkmen
untuk melakukan penjarahan untuk mendapatkan budak terus terjadi hingga abad ke
19. Utsmaniyah lebih berbahaya, ketika berada pada puncak kekuasaan mereka pada
abad ke 16, kemenangan Salim si Kejam atas Safawiyah di Chaldiran pada tahun
1514 merupakan suatu kemenangan logistik bagi Utsmaniyah, dan juga merupakan
peragaan keunggulan persenjataan. Tidak lama kemudian, Kurdistan, Diyarbakr,
dan Baghdad jatuh ke tangan Utsmaniyah, dan Azarbayjan sendiri sering diserbu,
kemudian ibukota Shafawiyah dipindahkan ke Tabriz ke Qazwin dan kemudian ke
Ishfahan.
Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan
diri Ismail. Akibatnya, kehidupan Ismail berubah. Ia lebih senang menyendiri,
menempuh kehidupan hura- hura dan berburu. Keadaan ini menimbulkan dampak
negative bagi Kerajaan Safawi, yaitu terjadinya persaingan segitiga antara
pemimpin suku-suku Turki, pejabat-pejabat keturunan Persia, dan Qizilbash dalam
merebut pengaruh untuk memimpin kerajaan Safawi[11].
2.
Kemajuan dan Kejayaan Dinasti Safawi.
Rasa permusuhan dengan kerajaan Utsmani terus berlangsung sepeninggalan Ismail I.
Peperangan-peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali
pada zaman pemerintahan Tahmasp I (1524- 1576 M), Ismail II (1576-1577 M), dan
Muhammad Khudabanda (1577-1587 M). Pada masa tiga kerajaan tersebut, kerajaan
Safawi dalam keadaan lemah[12].
Kondisi memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah raja
Safawi kelima, Abbas I naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588-1628 M.
Popularitas Abbas I ditopang oleh sikap keagamaannya. Ia terkenal sebagai seorang
Syi’ah yang saleh[13].
Sebagai bukti atas kesalehannya adalah bahwa dia sering berziarah ketempat suci
Qum dan Masyhad. Disamping itu Ia pun melakukan perubahan struktur birokrasi
dalam lembaga politik keagamaaan. Abbas 1 telah berhasil menciptakan kemajuan
pesat dalam bidang keagamaan, yang membuat ideologi Syi’ah semakin dikukuhkan.
Langkah- langkah yang diambil Abbas I dalam memulihkan kerajaan Safawi adalah:
a.
Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan
cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak, berasal
dari tawanan bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak raja
Tahmasp I.
b.
Pemindahan ibukota ke Isfahan.
c.
Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Untuk
mewujudkan perjanjian damai Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah
Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan. Abbas I juga berjanji tidak
akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam, yakni, Abu Bakar, Umar, dan
Utsman dalam khotbah-khotbah Jum’at. Bahkan sebagai jaminan, ia menyerahkan
saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagi sandera di Istambul.
Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil
membuat kerajaan Safawi kuat kembali. Kemudian Abbas I mulai memusatkan
perhatiannya keluar dengan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah
kekuasaannya yang hilang. Tahun 1598 M, ia menyerang dan menaklukkan Heart.
Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuasaan
terbina dengan baik ia juga berhasil mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya
dari Turki Utsmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran
agama ini memang tidak pernah padam. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya
ke wilayah kekuasaan Kerajaan Utsmani. Pada tahun 1602 M, disaat Turki Utsmani
berada dibawah pimpinan Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan
berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan,
Erivan, Ganja, Tiflis dapat dikuasai tahun 1605- 1606 M. Selanjutnya pada tahun
1622 M, pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah
pelabuhan Gurmun menjadi pelabuhan Bandar Abbas[14].
Pada Masa Abbas I inilah kerajaan Safawi mengalami masa
kejayaan yang gemilang. Diantara bentuk kejayaannya adalah :
a.
Bidang Politik.
Secara politik ia mampu mengatasi kemelut di dalam negeri
yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang
pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa sebelumnya.
Di bawah pemerintahan Abbas I Kerajaan Safawi mencapai
kekuasan politiknya yang tertinggi. Pemerintahannya merupakan sebuah pemerintahan
keluarga yang sangat dihormati dengan seorang penguasa yang didukung oleh
sejumlah pembantu, tentara administrator pribadi. Sang penguasa sacara penuh
mengendalikan birokrasi dan pengumpulan pajak, memonopoli kegiatan industri dan
penjualan bahan-bahan pakaian dan produk lainnya yang penting, membangun
sejumlah kota besar, dan memagar sejumlah tempat keramat dan jalan-jalan
sebagai ekspresi dari kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyatnya.
b.
Bidang Ekonomi.
Dalam bidang ekonomi terjadi perkembangan ekonomi yang
pesat setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi
Bandar Abbas. Hal ini dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang
antaraTimur dan Barat yang biasanya diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan
Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi. Selain itu Safawi juga
mengalami kemajuan sektor pertanian terutama di daerah Bulan sabit subur (Fortile
Crescent)[15].
Sedangkan di utara,
di sekitar laut Kaspia, Shafawi juga menjalin hubungan dagang dengan Rusia.
Perdagangan di darat dari sentral Asia, tetapi melalui kota- kota penting
Shafawi, seperti Heart, Merv, Noshafur, Tibriz dan Baghdad.
c.
Bidang Ilmu Pengetahuan.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Persia dikenal sebagai
bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa dam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Beberapa ilmuwan yang hadir di majelis istana antara lain, Baha al-Din al-
Syaerazi (generalis ilmu pengetahuan), Sadar al Din al- Syaerazi, filosof, dan
Muhammad Baqir ibn Muhammad Damad (teolog, filosof, observatory kehidupan
lebah). Dalam bidang ilmu pengetahuan, mungkin dapat dikatakan Safawi
lebih mengalami kemajuan dari pada kerajaan Mughal dan Turki Usmani.
d.
Bidang Pembangunan Fisik dan Seni.
Dalam bidang Pembangunan Fisik dan Seni. Para penguasa
kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota yang sangat indah. Disana terdapat
bangunan-bangunan besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah,
jembatan rakasasa di atas Zende Rudd dan istana Chilil Sutun.
Dalam hal seni, terdapat dalam kemajuan pada arsitektur bangunan
yang terlihat pada Masjid Shah yang dibangun pada 1611 M dan masjid Lutf Allah
yang dibangun pada 1603 M. Terlihat pula adanya peninggalan berbentuk kerajinan
tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan
lain- lain. Seni lukis mulai dirintis pada masa raja Tahmasp I. Ketika Abbas I
wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273
permandian umum[16].
B. KERAJAAN
QAJAR
1.
Asal Usul
Dinasti Qojar
Dinasti Qajar (juga dikenal sebagai
Ghajar atau Kadjar) atau dalam bahasa Persia: (سلسله
قاجاریه -
atau دودمان قاجار ) adalah sebutan umum untuk menggambarkan Iran (kemudian dikenal sebagai Persia) dibawah keluarga kerajaan Qajar yang berkuasa yang memerintah Iran
sejak 1794 hingga 1925. Pemimpin krajaan Qajar dan sekaligus pendiri
kepemerintahan yaitu Agha muhammad Khan dan ditetapkan sebagai shah (kaisar atau raja) 1779-1797 M[17].
Pada awal abad ke-16, suku Qojar
tampil memainkan peran dalam pejalanan sejarah Islam ketika ia besama enam suku
Turki lainnya bergabung dalam barisan tentara Qizilbash ikut mendirikan Dinasti
Safawi. Mengiringi kejatuhan Dinasti Safawi, Persia memasuki masa panjang
pergolakan politik dan sosial. Suku Bakhtiyari, Qasyqayi, Afsyari, Zand dan
Qojar saling betempur memperebutkan dominasi pusat kekuasaan. Pergolakan
politik dan sosial tersebut baru berakhir ketika Aga Muhammad Khan, dari suku
Qojar berhasil menduduki singgasana kerajaan. Kemudian ia menggalang aliansi
militer dengan suku Bakhtiyari dan Afsyari untuk menaklukkan wilayah tengah
Persia. Dan dengan bantuan penguasa propinsi Syiraz, Aga Munammad Khan berhasil
mengalahkan Dinasti Zand, sehingga daerah selatan Persia jatuh ke tangannya.
Pada tahun 1779 Aga Muhammad Khan menjadi penguasa de facto atas hampir seluruh wilayah Persia[18].
2.
Penguasa
dan Perkembangan/kemajuaan di masa Dinasti Qojar
a.
Agha
Muhammad Khan (1779 – 1797)
Pada masa pemerintahan Agha Muhammad
Khan, banyak disibukkan dengan perluasan wilayah-wilayah kekuasaannya seperti
propinsi Syiraz, Isfahan, Tabriz dan Masyhad. Dia memusatkan kekuasaannya di
Teheran sebagai ibu kotanya.
Ciri-ciri pada masa kekuasaan Aga
Muhammad Khan
1.1 Kepemimpinan
Negara didasarkan kepada adat istiadat kesukuan dengan melibatkan secara
langsung pemimpin Negara untuk membangun jaringan antarsuku.
1.2 Mengadakan
kerjasama antarsuku guna memerangi suku lain yang menjadi saingannya, sekaligus
memperkuat kekuasaannya sendiri.
b.
Fath Ali
Syah (1797 – 1834)
Ciri-ciri pada masa kekuasaan Fath
Ali Syah
1.1 Pengembangan
birokrasi Negara pada seluruh level pemerintahan dengan Teheran sebagai pusat
kekuasaannya.
1.2 Pembangunan
angkatan bersenjata yang permanen.
1.3 Pemberlakuan
etika kerajaan sebagaimana dipakai oleh kerajaan Persia Kuno.
Perkembangan dan perubahan birokrasi pemerintahan dan angkatan
bersenjata tersebut berkaitan erat dengan masuknya pengaruh Eropa ke Persia
pada awal abad ke-19. Namun, masuknya Negara-negara Eropa seperti Rusia dan
Inggris memiliki misi tertentu untuk menguasai daerah kekuasaan Qojar Persia.
Pada tahun 1813, Dinasti Qojar mengalami kekalahan perang dengan Rusia,
sehingga harus menandatangani perjanjian Gulistan yang menyatakan bahwa daerah
Georgia, Kaukasus dan pengawasan pelayaran Laut Kaspia menjadi daerah kekuasaan
Rusia, yang sebelumnya menjadi kekuasaan Dinasti Qojar. Hal tersebut menurunkan
reputasi Dinasti Qojar di mata rakyat.
Rusia memperlakukan rakyat terutama para ulama dan penduduk muslim
dengan kejam di daerah Kaukasus, ini merupakan ancaman langsung terhadap
eksistensi umat Islam di Persia. Melalui mimbar khotbah dan pengajian, ulama
mendesak pemerintah untuk melaksanakan jihad melawan Rusia. Fath Ali Syah
memenuhi tuntutan rakyat sehingga pada tahun 1826 ia menyatakan perang melawan
Rusia. Namun, untuk kedua kalinya Qojar mengalami kekalahan dan harus
menandatangani perjanjian Turkomanchai pada tahun 1828 yang menyatakan:
a. Propinsi
Erivan dan Nakhichevan harus diserahkan kepada Rusia.
b. Rusia
mendapat konsesi tarif yang rendah di bidang perdagangan.
c. Rusia
mendapatkan rampasan perang yang banyak.
d. Kebebasan
memberlakukan hukum Rusia bagi orang Rusia yang berada
di Kerajaan Qojar.
Di pihak lain, perjanjian Turkomanchai ini mengakibatkan ekonomi rakyat
lumpuh karena mereka terkena beban pajak dan tarif yang tinggi. Pemberontakan
suku-suku timbul di mana-mana, sehingga stabilitas politik terganggu dan pusat
pemerintahan Teheran menjadi lemah. Kondisi yang demikian terus berlangsung
hingga Fath Ali Syah wafat pada tahun 1834[19].
c.
Muhammad
Syah (1834 – 1848)
Pengangkatan
Muhammad Syah sebagai raja Dinasti Qojar berjalan lancar berkat keterlibatan
diplomatik Inggris
dan Rusia. Bahkan inggris memberikan dukungan langsung secara militer dalam
rangka menindas gerakan oposisi suku-suku local terhadap tahta kekuasaan
Muhammad Syah[20].
Dan sebagai imbalannya Muhammad Syah memberikan konsesi di bidang tarif dan hak
ekstra territorial pada tahun 1836 dan 1841, pimpinan Qojar menandatangani
pakta perjanjian. fakta ini menguntungkan Inggris karena memperoleh keistimewaan-keistimewaan
sebagaimana diberikan penguasa Qojar sebelumnya kepada Rusia.
Meningkatnya pengaruh Inggris dan Rusia
menghadirkan dampak yang sangat dalam terhadap kehidupan rakyat Persia.
Perkembangan industrialisasi di Eropa yang begitu pesat tidak saja membutuhkan
bahan mentah untuk mekanisme industri, melainkan juga membutuhkan daerah-daerah
untuk pemasaran produksi yang dihasilkan. Konsesi yang diberikan kepada Inggris
dan Rusia telah menghasilkan perdagangan bebas di Persia dan mengakibatkan
ekonomi Eropa semakin menusuk jantung perekonomian masyarakat Persia. Barang
yang diproduksi oleh berbagai pabrik di Inggris dan Rusia dengan harga murah
dan tarif import yang rendah mulai membanjiri Persia. Sebaliknya, para pedagang
lokal menjadi lemah karena kualitas barangnya lebih rendah dan harus membayar
pajak yang tinggi.
Cengkraman kekuatan asing terhadap
berbagai aspek kehidupan, terutama ekonomi perdagangan, yang menyebabkan
kelumpuhan ekonomi rakyat, telah menumbuhkan kebencian dan perlawanan terhadap
kekuatan asing tersebut. Diantara gerakan perlawanan terpenting pada masa Muhammad
Syah adalah perlawanan kelompok masyarakat Syi’ah Ismailiyah di bawah pimpinan
Aga Khan, di wilayah Iran tengah dan selatan. Namun, Dinasti Qojar dengan
bantuan militer Inggris dapat memukul mundur perlawanan tersebut. Di samping
itu juga ada gerakan perlawanan yang dikenal dengan gerakan Mesiah, Pendiri
gerakan ini adalah Sayid Ali Muhammad yang lahir di kota Syiraz pada tahun
1819. dalam waktu yang relative singkat (1844 -1850), gerakan ini telah menjadi
gerakan perlawanan yang bersifat nasional dan telah menggoncang stabilitas
politik Dinasti Qojar dan kepentingan asing di dalam negeri Qojar. Di tengah
situasi seprti ini, Muhammad Syah meninggal dunia pada tahun 1848[21].
d. Nasiruddin Syah (1848 – 1896)
Di bawah perlindungan dan jaminan Inggris
Rusia, Nasiruddin Syah, naik menduduki tahta kerajaan dan menjadi penguasa
Qojar yang paling lama berkuasa yakni dari tahun 1848 sampai 1896. Awal
kekuasaan Nasiruddin Syah disibukkan dengan pemberontakan gerakan Mesiah. Pada
tahun 1850 Nasiruddin dapat menangkap dan mengeksekusi pimpinan gerakan Mesiah,
Sayid Ali Muhammad, dengan dukungan dan bantuan Inggris dan Rusia. Kesuksesan
membasmi gerakan Mesiah tidak menjadikan Dinasti Qojar semakin mandiri.
Sebaliknya, Dinasti Qojar semakin terjerembak dalam kekangan Inggris dan Rusia.
Beberapa daerah kekuasaannya seperti Tashkent, Samarkand dan Bukhara dicaplok
oleh Rusia. Dan pada tahun 1857 Nasiruddin mengalami kekalahan perang dan harus
menandatangani perjanjian Paris yang menyatakan bahwa:
1.1 Qojar
harus keluar dan membebaskan daerah Heart
1.2 Qojar
harus mengakui kemerdekaan Afghanistan
1.3 Memberikan konsesi perdagangan yang lebih luas
kepada Inggris.
Pada tahun 1872 Nasiruddin mengadakan
kerjasama dengan perusahaan Baron de
Reuter dari Inggris untuk melakukan modernisasi dengan mengadakan
perubahan-perubahan diantaranya:
a.Di bidang
Ekonomi.
1.
Pembangunan jalan rel kereta api
2.
Pengadaan listrik
3.
Mengekplorasi sumber mineral dan
logam
4.
Membangun kanal dan irigasi seluruh
negeri
5.
Membangun jalan raya
6.
Membangun jaringan telepon
7.
Membangun pabrik-pabrik
8.
mendirikan bank nasional
b.
Di bidang Militer
1.
Pendidikan prajurit yang memadai
2.
Di bidang Pendidikan
3.
Mendirikan perguruan tinggi modern “Darul Funun”
4.
Administrasi dan birokrasi berbasis kekuasaan pemerintah pusat ala Eropa.
5.
Penterjemahan buku ilmu pengetahuan
dari bahasa Eropa ke dalam bahasa Persia[22].
Dengan
demikian, periode ini merupakan masa awal yang berpengaruh besar pada
kebangkitan dunia pendidikan Iran di kemudian hari.
Pada
tahun 1890, Nasiruddin memberikan konsesi kepada perusahaan Talbot dari Inggris untuk memonopoli
produksi, penjualan dan ekspor tembakau yang banyak ditanam petani Iran.
Modernisasi yang dilakukan oleh Nasiruddin Syah menimbulkan kebencian dan
perlawanan masyarakat. Para intelektual menyerang kediktatoran para penguasa
dan praktek korupsi yang meluas di kalangan penguasa. Kaum Bazari, memprotes
atas konsensi yang diberikan Syah kepada orang asing yang mengakibatkan mereka
bangkrut dan kalah bersaing. Para petani memprotaes rendahnya daya jual hasil
pertaniannya. Dan para ulama memandang bahwa kuatnya pengaruh asing akan
membahayakan keberadaan agama Islam di Iran[23].
Berbagai
kebencian tersebut kemudian berkembang menjadi perlawanan nasional pada tahun 1891
– 1892. Ulama, intelektual, kaum Bazari, petani dan sebagian aparatur
pemerintah berkoalisi berdemonstrasi di berbagai kota penting seperti Syiraz,
Isfahan, Tabriz dan Masyhad. Sebuah fatwa dikeluarkan oleh Mirza Husein
Syirazi, pemimpin ulama tertinggi (Marja’
at-Taqlid) komunitas Syi’ah, untuk melakukan boikot terhadap monopoli
tembakau dan penghapusan konsesi yang diberikan kepada Inggris. Inilah yang
kemudian disebut sebagai “The Tobacco
Movement”. Akhirnya Nasyiruddin Syah mengabulkan tuntutan para demontran
dan sebagai akibatnya Dinasti Qojar menanggung hutan 500.000 pound sterling[24].
Untuk
membayar hutang Nasiruddin meminjam kepada Rusia. Hal tersebut membuat
kemarahan rakyat timbul kembali dan pada tahun 1896 Nasiruddin Syah akhirnya
dibunuh oleh salah seorang pengikut al-Afgani.
e.
Muzaffaruddin
Syah (1896 – 1907)
Di bawah
pemerintahan Muzaffaruddin Syah, keadaan Dinasti Qojar semakin melemah. Masa
kekuasaannya lebih banyak diwarnai oleh perebutan pengaruh antara Inggris dan
Rusia, oposisi rakyat semakin kuat dan hutang yang semakin banyak.
Pada
tahun 1900 Syah mendapat pinjaman dari Rusia sebesar 2.400.000 pound sterling
dan dua tahun kemudian 1902 menerima penjaman kembali sebesar 10.000.000 rubel.
Hutang Syah yang meninggi, cengkeraman Rusia dan Inggris yang semakin kuat
serta memburuknya perekonomian rakyat membuat suhu kebencian oposisi rakyat
terhadap Dinasti Qojar semakin menaik. Situasi yang demikian membuat
terwujudnya apa yang dikenal dalam sejarah dengan “Revolusi Konstitusional (1905
– 1911).
Revolusi
tersebut memaksa agar Muzaffaruddin mendirikan Majelis Nasional, yang akhirnya
didirikan pertama kali pada awal Agustus 1906 di Iran. Dengan kehadiran Majelis
Nasional tersebut kehidupan rakyat mengalami perubahan hingga meninggalnya Muzaffaruddin
Syah pada tahun 1907.
f.
Muhammad
Ali Syah (1907 – 1909)
Muhammad
Ali Syah sangat membenci Majelis Nasional dan berambisi untuk membubarkannya.
Dengan menggunakan kekuaran militer dan dibantu oleh Rusia akhirnya Syah dapat
membekukan Majelis Nasional bahkan membunuh beberapa anggata Majelis Nasional.
Kejadian
tersebut membuat perlawanan rakyat meluas kembali dan menuntut agar Majelis
Nasional bentuk kembali. Pada tahun 1909 akhirnya Majelis Nasional dibentuk
kembali dan menuntut agar Muhammad Aki Syah Mundur dari jabatannya. Dan
digantikan oleh putranya.
g.
Ahmad
Syah (1909 – 1925)
Dinasti
Qojar tidak mengalami kemajuan yang berarti di bawah pimpinan Ahmad Syah.
Bahkan sebaliknya, kesatuan kedaulatan Qojar terpecah-pecah, wilayah utara Iran
di bawah pengawasan Rusia, wilayah selatan di bawah pengawasan Inggris dan
hanya wilayah tengah yang sempit sebagai zona netral. Di tambah lagi selama
perang dunia 1[25],
Iran digunakan sebagai salah satu medan pertempuran yang membuat Qojar semakin
terpojok dan mengalami kerusakan ekonomi yang parah.
Lemahnya kekuasaan pusat Dinasti
Qojar dimanfaatkan oleh Reza Syah, seorang militer karir, yang melakukan
persiapan untuk mengambil alih kekuasaan. Dengan menggalang aliansi bersama
Kabinet Ziauddin dan Qawam as-Sultanah, posisi reza Syah semakin kuat. Dengan
dukungan militer yang terdidik secara modern dan terlatih, Reza Syah kemudian
mengontrol hampir seluruh birokrasi pemerintahan. Dan pada tahun 1925 Reza
berhasil mengahiri keberadaan Dinasti Qojar dengan memecat Ahmad Syah sebagai
penguasa terakhir. Sebagai gantinya, Reza memproklamirkan berdirinya Dinasti
Pahlevi dan ia sendiri menjadi raja yang pertama.
C. PERBANDINGAN DINASTI SAFAWI DAN DINASTI QAJAR
Sebab
Kemunduran Dinasti Safawi
|
Sebab
Kemunduran Dinasti Qajar
|
a. Sepeninggal
Abbas I, Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi
Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husein
(1694- 1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M) dan Abbas III (1733-1736 M). Pada
masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik
dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa
kepada kehancuran. Raja Safi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi penyebab
kemunduran Safawi karena dia seorang raja yang lemah dan sangat kejam
terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu
yang akhirnya mengakibatkan mundurnya kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh
dalam pemerintahan sebelumnya (Abbas I).
b. Kota
Qandahar lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal
yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut
oleh kerajaan Utsmani. Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras
sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga
seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya.
Akibatnya rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh
Shah Husein yang alim. Ia memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama
Syi'ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni[26].
Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka
berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi. Pemberontakan
bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali tahun 1709 M di bawah pimpinan
Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar[27].
Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil Afghanistan berhasil
menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan
pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu merebut negeri-negeri
Afghan dari kekuasaan Safawi. Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah
Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi
gebernur di Qandahar dengan gelar Husei Quli Khan (budak Husein). Dengan
pengakuai ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 M, ia
merebut Kirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan memaksa Shah
Husein menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah
dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
c. Salah
seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku
Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa
atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun 1726 M,
Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan
mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud,
yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan
tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian
Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II
di pecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III, yang ketika itu masih
sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir
Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian
berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawi di Persia (Holt, 1970:428-429).
d. Adanya
konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani.
e. Berdirinya
kerajaan Safawi yang bermadzhab Syi'ah merupakan ancaman bagi kerajaan
Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua kerajaan besar ini.
f. Terjadinya
dekandensi (kerusakan) moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaaan
Safawi, yang juga ikut mempercepat proses kehancuran kerajaan ini. Raja
Sulaiman yang pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama tujuh
tahun tidak pernah sekalipun ssmenyempatkan diri menangani pemerintahan,
begitu pula dengan sultan Husein.
g. Pasukan ghulam
(budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat
perjuangan yang tinggi seperti semangat Qizilbash. Kemerosotan aspek
kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan
pertahanan kerajaan Safawi.
h. Seringnya
terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga
istana[28].
|
a. Sebagai akibat interaksi antara Iran dengan bangsa Barat. Berkembang
paham-paham baru dari Barat serta bertambahnya kaum intelektual di Iran pada
masa sesudahnya.
b. Adanya pandangan bahwa modernisasi Iran adalah satu-satunya cara yang
efektif untuk melawan kekuasaan asing dan untuk memperbaiki kondisi kehidupan
sebagian besar masyarakat Iran. Komunitas yang terdiri atas orang-orang yang
berpendidikan Barat dan pejabat pemerintah Qajar yang terlibat dengan Eropa
serta komunitas minoritas yang lebih radikal berkolaborasi dalam gerakan yang
menentang Shah Qajar (negara)[29].
c. Antara tahun 1891-1892 komunitas agama bersama dengan pedagang,
intelektual liberal serta para pegawai mengadakan demonstrasi besar-besaran
dan memboikot monopoli tembakau pada perusahaan Inggris. Para ulama memimpin
demonstasi ini di berbagai kota seperti Shiraz, Isfahan, Tabriz dan Mashad,
yang terkenal dengan Pemberontakan Tembakau (Tobacco Protest 1891-1892).
d. Peristiwa penting di Iran pada awal abad ke-20 selain ditemukannya
sumber minyak bumi adalah ”Revolusi Konstitusional". Peristiwa
yang terjadi pada periode Dinasti Qajar ini mengakhiri kekuasaan absolut
raja.
e. Revolusi ini merupakan bentuk gerakan nasionalisme rakyat Iran pada
abad ke-20.
f. Pada tahun 1925 Dinasti Qojar ditumbangkan oleh Dinasti Pahlevi.
Terdapat faktor internal dan eksternal yang menyebabkan hal ini terjadi.
Faktor internal yang paling menonjol adalah lemahnya pemerintahan pusat dan
terjadinya pemberontakan-pemberontakan lokal. Berbagai pemberontakan itu
tidak mampu dibendung dan diredam oleh pemerintahan pusat sebagai pengendali
utama keamanan, semakin lama pemberontakan itu menggerogoti kekuasaan Dinasti
Qojar dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk berlawanan
dengan kekuasaan Dinasti Qojar.
g. Faktor eksternal yang muncul adalah pecahnya Perang Dunia I yang
menjadikan Iran sebagai arena pertempuran, walaupun secara politik posisi
Iran dalam perang itu adalah netral. Rusia ngotot untuk mempertahankan
cadangan minyak di Baku dan Laut Kaspia. Tentara Rusia terlibat dalam
pertempuran sengit dengan tentara Turki di Iran barat laut. Imperialis
Inggris, di pihak lain, mempertahankan kepentingan mereka di ladang minyak
Khuzistan. Situasi pelik dan kacau demikian itu menyulut Sayid Ziauddin Taba
Tabai, seorang politisi Iran, dan Reza Khan, seorang perwira kavaleri,
memanfaatkan situasi untuk melancarkan pemberontakan atas dinasti Qojar.
|
KESIMPULAN
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah tarekat yang berdiri
di Ardabil, tarekat tersebut bernama Safawi. Kerajaan Safawi berada dipuncak
kajayaan pada masa kekuasaan Abbas I. Banyak kemajuan yang yang dicapai
kareajann Safawi antara lain dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan,
dan bidang pembangunan fisik dan seni. Akan tetapi setelah Abbas meninggal
merajaan Safawi mengalami kemunduran, di sebabkan karena raja yang memerintah
sangat lemah, sering terjadinya konflik intern dalm perebutan kekuasaan di
kalangan keluarga istana. Hanya dalam satu abad setelah ditinggalkan Abbas,
jerajaan Safawi hancur.
Dinasti Qojar telah memainkan peran penting dalam mengenalkan program
modernisasi, baik di dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, maupun militer.
Yang di kemudian hari memberikan kontribusi yang sangat besar bagi terbentuknya
Negara Iran modern. penguasa dinasti
Qojar: Agha Mohammad Khan Qojar (1794-1797), Fath Ali Shah (1797-1834), Mohammad Shah Qojar (1834-1848), Nasser-al-Din Shah (1848-1896), Mozaffar al-Din Shah Qojar (1896-1907), Mohammad Ali Shah (1907-1909),Soltan Ahmad Shah Qojar (1909-1925).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy
Ahmad, 2003, Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Media
Eka Sarana.
Hamka, 2005, Sejarah Umat
Islam, Singapura :Pustaka Nasional PTE LTD, Cet. V
Thohir Ajid,
2009, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam :Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, dan Budaya
Umat Islam, Jakarta: Rajawali Pers.
Yatim Badri, 2001, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers
[5] Ajid
Thohir, 2009, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam
:Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Rajawali
Pers. Hlm.172
[9]http://warungbaca.blogspot.com/2008/09/masa-kemunduran-tiga-kerajaan-besar.html. 11-12-2012, 13: 30
[23] http://www.isracampus.org.il/Extra%20Files/Anita%20Shapira%20-%20Shlomo%20Sand%20book%20review.pdf. 12-12-2012,
13. 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar