Senin, 12 Mei 2014

PERBANDINGAN KEMUNDURAN KERAJAAN SAFAWI DAN QAJAR

PERBANDINGAN
KEMUNDURAN KERAJAAN SAFAWI DAN QAJAR

D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
Lusi Listanti (10 42 0015)



Dosen pembimbing :
Padila, S.S., M.Hum

FAKULTAS ADAB
JURUSAN SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2012






PENDAHULUAN
Cemerlangnya peradaban Islam, berjaya pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Sekian abad kejayaan Islam, berakhir setelah serangan Mongol terhadap seljuk pada tahun 1300 M, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaannya tecabik-cabik dalam beberapa kerajaan kecil yang satu sama lain bahkan saling memerangi. Beberapa peninggalan budaya dan peradaban Islam banyak yang hancur akibat serangan bangsa Mongol itu. Namun, kamalangan tidak berhenti sampai di situ. Timur Lenk, pemimpin bangsa mongol saat itu, juga menghancurkan pusat-pusat kekuasaan Islam yang lain.
Setelah Dinasti Abbasiyah mengalami kehancuran, kondisi politik umat Islam secara keseluruhan mengalami kemajuan, umat Islam bangkit kembali setelah terbentuknya tiga kerajaan besar yaitu : Kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Safawi di Persia dan Kerajaan Mughal di India.
Kerajaan Usmani di samping yang pertama berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibanding kedua kerajaan lainnya. Turki Usmani dianggap sebagai dinasti yang mampu menghimpun kembali umat Islam setelah beberapa lama mengalami kemunduran politik.
Pada waktu kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaan, kerajaan Safawi di Persia masih baru berdiri. Gerakan Safawiyah memprakarsai penaklukan Iran dan mendirikan sebuah baru yang berkuasa dari 1501 sampai 1722. Sang pendiri mengawali gerakannya dengan seruan untuk memburnikan dan memulihkan kembali ajaran Islam.
Namun pada kenyataannya, kerajaan ini dapat berkembang dengan cepat. Nama safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat Safawiyah menjadi gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi. Kerajaan ini mampu mempersatukan seluruh daerah Persia sebagai satu negara yang besar dan independen.
Kerajaan Mughal berdiri, setelah seperempat abad berdirinya kerajaan Safawi, kerajaan Mughal di India dengan Delhi sebagai ibu kotanya. kerajaan Mughal bukanlah kerajan Islam pertama di anak Benua India. Awal kekuasaan Islam di wilayah India terjadi pada masa khalifah al-Walid dari Dinasti Bani Umayyah. Akan tetapi Kerajaan Mughal termasuk salah satu kerajaan yang sangat berperan penting  dalam membangun peradaban Islam.
Dinasti Qojar adalah kerajaan yang menguasai negeri Iran selama abad ke-19 M, sampai awal abad ke-20 M. Di zaman itu Iran sudah menghadapi perubahan-perubahan dunia baru, sejak bangkitnya Napoleon Bonaparte dan terdesaknya kerajaan Turki Usmani. Apalagi dengan jatuhnya kekuasaan kerajaan Mongol terakhir di anak benua India. Iran hidup terjepit di antara dua kekuasaan raksasa Inggris dan Rusia. Saat itulah munculnya kerajaan Qojariyah.








PEMBAHASAN
A.    KERAJAAN SAFAWI




Peta dinasti safawi di persia
 


1.      Asal Mula Berdirinya Dinasti Safawi.
Mirip dengan asal usul Dinasti Murabithun dan Muwahhidun di Afrika Utara, kerajaan Shafawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azarbaijan. Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Utsmani[1]. Nama Safawiyah diambil dari nama pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, masih dipertahankan sampai gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan[2].
Safi Al-Din yang lahir pada 1252/ 650 M, ia mendirikan tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru sekaligus mertuanya yang wafat tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan memerangi orang-orang ingkar, dan golongan yang mereka sebut ahli-ahli bid’ah. Tarekat ini menjadi semakin penting setelah Safi Al-Din mengubah bentuk tarekat ini dari pengajian Tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia. Di luar negeri-negeri Ardabil Safi menempatkan seorang wakil yang memimpin murid- muridnya. Wakil itu diberi gelar Khalifah. Lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan, dan menentang setiap orang yang bermadzab selain syi’ah[3].
Kecenderungan memasuki dunia politik itu mendapat wujud konkretnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid dengan penguasa Kara Koyunlu (Domba Hitam), salah satu bangsa Turki yang berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik itu Juneid kalah dan diasingkan ke suatu tempat. Di tempat baru itu ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, Ak koyunlu (Domba Putih) yang juga merupakan suku bangsa Turki. Ia tinggal di Istana Uzu Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia. Perlu diketahui juga bahwa dua kerajaan Turki, yakni Kara Koyunlu yang berkuasa di bagian Timur beraliran syi’ah sedangkan Ak koyunlu yang berkuasa di bagian Barat beraliran Sunni[4].
Selama dalam pengasingan Junaed tidak tinggal diam. Ia menghimpun kekuatan untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Junaed berusaha merebut Ardabil tetapi gagal. Tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircasia tetapi pasukan yang dipimpinya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Ketika itu anak Juneid bernama Haidar masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi tahun 1470 M. Hubungan Haidar dan Uzun Hazan semakin dekat setelah Haidar mengawini putri Uzun Hasan. Dari perkawinan itu lahirlah Ismail yang kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia. Haidar membuat perlambangan baru dari pengikut tarekatnya, yaitu serban merah mempunyai 12 jambul, sebagai lambang dari 12 imam yang diagungkan dalam mazhab Syi’ah Istna Asyariah.
Kemenangan Ak Koyunlu tahun 1476 M terhadap Kara Koyunlu, membuat gerakan Safawi yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh Ak Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal sebelumnya Safawi adalah sekutu Ak Koyunlu. Ak Koyunlu berusaha melenyapkan kekutan militer dan kekuasaan Dinasti Safawi. Karena itu ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, Ak Koyunlu mengirim bantuan pada pasukan Sirwan, sehinga pasukan Haidar kalah dan Haidar terbunuh.
Ali, putra dan pengganti Haidar didesak oleh bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap Ak Koyunlu. Tetapi Ya’kub Pemimpin Ak Koyunlu dapat menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim, Ismail dan Ibunya di Fars selama empat setengah tahun (1489-1493 M)[5]. Mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota Ak Koyunlu dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah saudara sepupu Rustam dapat dikalahkan. Ali bersama saudaranya kembali ke Ardabil. Tetapi, tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam serangan itu pada tahun 1494 M[6].
Kepemimpinan gerakan Safawi selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azarbaijan, Syiria, Anatolia. Pasukan yang dipersiapkannya itu dinamai Qizilbash (Baret Merah)[7].
Di bawah kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan Ak Koyunlu di Sharur, dekat Nackhcivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukan Tabriz, ibu kota Ak Koyunlu dan berhasil merebut dan mendudukinya. Di kota ini Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama di dinasti Safawi, yang kemudian disebut Ismail I[8].
1.      Perkembangan Dinasti Safawi.
Pada waktu kerajaan Turki Utsmani sudah mencapai puncak kejayaannya, kerajaan Safawi di Persia masih baru berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini berkembang dengan cepat. Nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat Safawiyah menjadi suatu gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering berselisih dengan kerajaan Turki Utsmani. Kerajaan Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam lainnya seperti kerajaan Turki Utsmani dan Mughal[9]. Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut Syi’ah dan dijadikan sebagai madzhab negara. Oleh karena itu, kerajaan Safawi dianggap sebagai peletak dasar pertama terbentuknya negara Iran dewasa ini.
Ismail I berkuasa kurang lebih selama 23 tahun, yaitu antara tahun 1501- 1524 M. Pada sepuluh tahun pertama, ia berhasil memperluas wilayah kekuasaanya. Ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan Ak Koyunlu di Amadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan, dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M), Baghdad dan daerah barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M), dan Khurasan (1510 M). Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Timur (Fortile Crescent)[10].
Tidak sampai disitu, ambisi politik mendorongnya untuk terus melebarkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke Turki Utsmani. Namun, Ismail bukan hanya menghadapi musuh yang sangat kuat, tetapi juga sangat membenci golongan Syi’ah. Peperangan dengan Turki Utsmani terjadi pada tahun 1514 M, di Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keunggulan organisasi militer kerajaan Utsmani, Ismail I mengalami kekalahan, malah Turki Utsmani di bawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki di Negerinya. Peperangan ini, seperti para sejarawan menduga, bisa jadi berasal dari kebencian Sultan Salim dan pengejaran terhadap seluruh umat muslim Syi’ah di daerah kekuasaannya. Fanatisme Sultan Salim memaksanya membunuh 40.000 orang yang didakwa telah mengingkari ajaran-ajaran Sunni.
Secara militer, Syah Ismail dan para penerusnya harus menghadapi permusuhan sengit dari tetangga-tetangga mereka yang sunni, Utsmaniyah di barat dan Ozbeg Turkmen di timur laut. Di tapal batas Oxuz, para syah cukup dapat mempertahankan milik mereka meskipun kota-kota perbatasan seperti Heart, Masyhad, dan Sarakh sering berpindah tangan, tetapi serangan Turkmen untuk melakukan penjarahan untuk mendapatkan budak terus terjadi hingga abad ke 19. Utsmaniyah lebih berbahaya, ketika berada pada puncak kekuasaan mereka pada abad ke 16, kemenangan Salim si Kejam atas Safawiyah di Chaldiran pada tahun 1514 merupakan suatu kemenangan logistik bagi Utsmaniyah, dan juga merupakan peragaan keunggulan persenjataan. Tidak lama kemudian, Kurdistan, Diyarbakr, dan Baghdad jatuh ke tangan Utsmaniyah, dan Azarbayjan sendiri sering diserbu, kemudian ibukota Shafawiyah dipindahkan ke Tabriz ke Qazwin dan kemudian ke Ishfahan.
Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya, kehidupan Ismail berubah. Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura- hura dan berburu. Keadaan ini menimbulkan dampak negative bagi Kerajaan Safawi, yaitu terjadinya persaingan segitiga antara pemimpin suku-suku Turki, pejabat-pejabat keturunan Persia, dan Qizilbash dalam merebut pengaruh untuk memimpin kerajaan Safawi[11].
2.      Kemajuan dan Kejayaan Dinasti Safawi.
Rasa permusuhan dengan kerajaan Utsmani terus berlangsung sepeninggalan Ismail I. Peperangan-peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada zaman pemerintahan Tahmasp I (1524- 1576 M), Ismail II (1576-1577 M), dan Muhammad Khudabanda (1577-1587 M). Pada masa tiga kerajaan tersebut, kerajaan Safawi dalam keadaan lemah[12].
Kondisi memprihatinkan ini baru bisa diatasi setelah raja Safawi kelima, Abbas I naik tahta. Ia memerintah dari tahun 1588-1628 M. Popularitas Abbas I ditopang oleh sikap keagamaannya. Ia terkenal sebagai seorang Syi’ah yang saleh[13]. Sebagai bukti atas kesalehannya adalah bahwa dia sering berziarah ketempat suci Qum dan Masyhad. Disamping itu Ia pun melakukan perubahan struktur birokrasi dalam lembaga politik keagamaaan. Abbas 1 telah berhasil menciptakan kemajuan pesat dalam bidang keagamaan, yang membuat ideologi Syi’ah semakin dikukuhkan. Langkah- langkah yang diambil Abbas I dalam memulihkan kerajaan Safawi adalah:
a.        Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri dari budak-budak, berasal dari tawanan bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak raja Tahmasp I.
b.        Pemindahan ibukota ke Isfahan.
c.        Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani. Untuk mewujudkan perjanjian damai Abbas I terpaksa harus menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah Luristan. Abbas I juga berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pertama dalam Islam, yakni, Abu Bakar, Umar, dan Utsman dalam khotbah-khotbah Jum’at. Bahkan sebagai jaminan, ia menyerahkan saudara sepupunya, Haidar Mirza sebagi sandera di Istambul.
Usaha-usaha yang dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Safawi kuat kembali. Kemudian Abbas I mulai memusatkan perhatiannya keluar dengan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang. Tahun 1598 M, ia menyerang dan menaklukkan Heart. Dari sana ia melanjutkan serangan merebut Marw dan Balkh. Setelah kekuasaan terbina dengan baik ia juga berhasil mendapatkan kembali wilayah kekuasaannya dari Turki Utsmani. Rasa permusuhan antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah kekuasaan Kerajaan Utsmani. Pada tahun 1602 M, disaat Turki Utsmani berada dibawah pimpinan Sultan Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan, dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja, Tiflis dapat dikuasai tahun 1605- 1606 M. Selanjutnya pada tahun 1622 M, pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gurmun menjadi pelabuhan Bandar Abbas[14].
Pada Masa Abbas I inilah kerajaan Safawi mengalami masa kejayaan yang gemilang. Diantara bentuk kejayaannya adalah :
a.      Bidang Politik.
Secara politik ia mampu mengatasi kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara dan berhasil merebut wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain pada masa sebelumnya.
Di bawah pemerintahan Abbas I Kerajaan Safawi mencapai kekuasan politiknya yang tertinggi. Pemerintahannya merupakan sebuah pemerintahan keluarga yang sangat dihormati dengan seorang penguasa yang didukung oleh sejumlah pembantu, tentara administrator pribadi. Sang penguasa sacara penuh mengendalikan birokrasi dan pengumpulan pajak, memonopoli kegiatan industri dan penjualan bahan-bahan pakaian dan produk lainnya yang penting, membangun sejumlah kota besar, dan memagar sejumlah tempat keramat dan jalan-jalan sebagai ekspresi dari kepeduliannya terhadap kesejahteraan rakyatnya.
b.      Bidang Ekonomi.
Dalam bidang ekonomi terjadi perkembangan ekonomi yang pesat setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan pelabuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas. Hal ini dikarenakan Bandar ini merupakan salah satu jalur dagang antaraTimur dan Barat yang biasanya diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi. Selain itu Safawi juga mengalami kemajuan sektor pertanian terutama di daerah Bulan sabit subur (Fortile Crescent)[15].
Sedangkan di utara, di sekitar laut Kaspia, Shafawi juga menjalin hubungan dagang dengan Rusia. Perdagangan di darat dari sentral Asia, tetapi melalui kota- kota penting Shafawi, seperti Heart, Merv, Noshafur, Tibriz dan Baghdad.
c.       Bidang Ilmu Pengetahuan.
Dalam bidang ilmu pengetahuan, Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan berjasa dam mengembangkan ilmu pengetahuan. Beberapa ilmuwan yang hadir di majelis istana antara lain, Baha al-Din al- Syaerazi (generalis ilmu pengetahuan), Sadar al Din al- Syaerazi, filosof, dan Muhammad Baqir ibn Muhammad Damad (teolog, filosof, observatory kehidupan lebah). Dalam bidang ilmu pengetahuan, mungkin dapat dikatakan  Safawi lebih mengalami kemajuan dari pada kerajaan Mughal dan Turki Usmani.
d.      Bidang Pembangunan Fisik dan Seni.
Dalam bidang Pembangunan Fisik dan Seni. Para penguasa kerajaan menjadikan Isfahan menjadi kota yang sangat indah. Disana terdapat bangunan-bangunan besar dan indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan rakasasa di atas Zende Rudd dan istana Chilil Sutun.
Dalam hal seni, terdapat dalam kemajuan pada arsitektur bangunan yang terlihat pada Masjid Shah yang dibangun pada 1611 M dan masjid Lutf Allah yang dibangun pada 1603 M. Terlihat pula adanya peninggalan berbentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian dan tenunan, mode, tembikar, dan lain- lain. Seni lukis mulai dirintis pada masa raja Tahmasp I. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 permandian umum[16].
B.     KERAJAAN QAJAR
1.      Asal Usul Dinasti Qojar
Dinasti Qajar (juga dikenal sebagai Ghajar atau Kadjar) atau dalam bahasa Persia: (سلسله قاجاریه - atau دودمان قاجار ) adalah sebutan umum untuk menggambarkan Iran (kemudian dikenal sebagai Persia) dibawah keluarga kerajaan Qajar yang berkuasa yang memerintah Iran sejak 1794 hingga 1925. Pemimpin krajaan Qajar dan sekaligus pendiri kepemerintahan yaitu Agha muhammad Khan  dan ditetapkan sebagai shah (kaisar atau raja) 1779-1797 M[17].
Pada awal abad ke-16, suku Qojar tampil memainkan peran dalam pejalanan sejarah Islam ketika ia besama enam suku Turki lainnya bergabung dalam barisan tentara Qizilbash ikut mendirikan Dinasti Safawi. Mengiringi kejatuhan Dinasti Safawi, Persia memasuki masa panjang pergolakan politik dan sosial. Suku Bakhtiyari, Qasyqayi, Afsyari, Zand dan Qojar saling betempur memperebutkan dominasi pusat kekuasaan. Pergolakan politik dan sosial tersebut baru berakhir ketika Aga Muhammad Khan, dari suku Qojar berhasil menduduki singgasana kerajaan. Kemudian ia menggalang aliansi militer dengan suku Bakhtiyari dan Afsyari untuk menaklukkan wilayah tengah Persia. Dan dengan bantuan penguasa propinsi Syiraz, Aga Munammad Khan berhasil mengalahkan Dinasti Zand, sehingga daerah selatan Persia jatuh ke tangannya. Pada tahun 1779 Aga Muhammad Khan menjadi penguasa de facto atas hampir seluruh wilayah Persia[18].
2.      Penguasa dan Perkembangan/kemajuaan di masa Dinasti Qojar
a.         Agha Muhammad Khan (1779 – 1797)
Pada masa pemerintahan Agha Muhammad Khan, banyak disibukkan dengan perluasan wilayah-wilayah kekuasaannya seperti propinsi Syiraz, Isfahan, Tabriz dan Masyhad. Dia memusatkan kekuasaannya di Teheran sebagai ibu kotanya.
Ciri-ciri pada masa kekuasaan Aga Muhammad Khan
1.1  Kepemimpinan Negara didasarkan kepada adat istiadat kesukuan dengan melibatkan secara langsung pemimpin Negara untuk membangun jaringan antarsuku.
1.2  Mengadakan kerjasama antarsuku guna memerangi suku lain yang menjadi saingannya, sekaligus memperkuat kekuasaannya sendiri.
b.      Fath Ali Syah (1797 – 1834)
Ciri-ciri pada masa kekuasaan Fath Ali Syah
1.1  Pengembangan birokrasi Negara pada seluruh level pemerintahan dengan Teheran sebagai pusat kekuasaannya.
1.2  Pembangunan angkatan bersenjata yang permanen.
1.3  Pemberlakuan etika kerajaan sebagaimana dipakai oleh kerajaan Persia Kuno.
Perkembangan dan perubahan birokrasi pemerintahan dan angkatan bersenjata tersebut berkaitan erat dengan masuknya pengaruh Eropa ke Persia pada awal abad ke-19. Namun, masuknya Negara-negara Eropa seperti Rusia dan Inggris memiliki misi tertentu untuk menguasai daerah kekuasaan Qojar Persia. Pada tahun 1813, Dinasti Qojar mengalami kekalahan perang dengan Rusia, sehingga harus menandatangani perjanjian Gulistan yang menyatakan bahwa daerah Georgia, Kaukasus dan pengawasan pelayaran Laut Kaspia menjadi daerah kekuasaan Rusia, yang sebelumnya menjadi kekuasaan Dinasti Qojar. Hal tersebut menurunkan reputasi Dinasti Qojar di mata rakyat.
Rusia memperlakukan rakyat terutama para ulama dan penduduk muslim dengan kejam di daerah Kaukasus, ini merupakan ancaman langsung terhadap eksistensi umat Islam di Persia. Melalui mimbar khotbah dan pengajian, ulama mendesak pemerintah untuk melaksanakan jihad melawan Rusia. Fath Ali Syah memenuhi tuntutan rakyat sehingga pada tahun 1826 ia menyatakan perang melawan Rusia. Namun, untuk kedua kalinya Qojar mengalami kekalahan dan harus menandatangani perjanjian Turkomanchai pada tahun 1828 yang menyatakan:
a.       Propinsi Erivan dan Nakhichevan harus diserahkan kepada Rusia.
b.      Rusia mendapat konsesi tarif yang rendah di bidang perdagangan.
c.       Rusia mendapatkan rampasan perang yang banyak.
d.      Kebebasan memberlakukan hukum Rusia bagi orang Rusia yang berada di Kerajaan Qojar.
Di pihak lain, perjanjian Turkomanchai ini mengakibatkan ekonomi rakyat lumpuh karena mereka terkena beban pajak dan tarif yang tinggi. Pemberontakan suku-suku timbul di mana-mana, sehingga stabilitas politik terganggu dan pusat pemerintahan Teheran menjadi lemah. Kondisi yang demikian terus berlangsung hingga Fath Ali Syah wafat pada tahun 1834[19].
c.       Muhammad Syah (1834 – 1848)
Pengangkatan Muhammad Syah sebagai raja Dinasti Qojar berjalan lancar berkat keterlibatan diplomatik Inggris dan Rusia. Bahkan inggris memberikan dukungan langsung secara militer dalam rangka menindas gerakan oposisi suku-suku local terhadap tahta kekuasaan Muhammad Syah[20]. Dan sebagai imbalannya Muhammad Syah memberikan konsesi di bidang tarif dan hak ekstra territorial pada tahun 1836 dan 1841, pimpinan Qojar menandatangani pakta perjanjian. fakta ini menguntungkan Inggris karena memperoleh keistimewaan-keistimewaan sebagaimana diberikan penguasa Qojar sebelumnya kepada Rusia.
      Meningkatnya pengaruh Inggris dan Rusia menghadirkan dampak yang sangat dalam terhadap kehidupan rakyat Persia. Perkembangan industrialisasi di Eropa yang begitu pesat tidak saja membutuhkan bahan mentah untuk mekanisme industri, melainkan juga membutuhkan daerah-daerah untuk pemasaran produksi yang dihasilkan. Konsesi yang diberikan kepada Inggris dan Rusia telah menghasilkan perdagangan bebas di Persia dan mengakibatkan ekonomi Eropa semakin menusuk jantung perekonomian masyarakat Persia. Barang yang diproduksi oleh berbagai pabrik di Inggris dan Rusia dengan harga murah dan tarif import yang rendah mulai membanjiri Persia. Sebaliknya, para pedagang lokal menjadi lemah karena kualitas barangnya lebih rendah dan harus membayar pajak yang tinggi.
      Cengkraman kekuatan asing terhadap berbagai aspek kehidupan, terutama ekonomi perdagangan, yang menyebabkan kelumpuhan ekonomi rakyat, telah menumbuhkan kebencian dan perlawanan terhadap kekuatan asing tersebut. Diantara gerakan perlawanan terpenting pada masa Muhammad Syah adalah perlawanan kelompok masyarakat Syi’ah Ismailiyah di bawah pimpinan Aga Khan, di wilayah Iran tengah dan selatan. Namun, Dinasti Qojar dengan bantuan militer Inggris dapat memukul mundur perlawanan tersebut. Di samping itu juga ada gerakan perlawanan yang dikenal dengan gerakan Mesiah, Pendiri gerakan ini adalah Sayid Ali Muhammad yang lahir di kota Syiraz pada tahun 1819. dalam waktu yang relative singkat (1844 -1850), gerakan ini telah menjadi gerakan perlawanan yang bersifat nasional dan telah menggoncang stabilitas politik Dinasti Qojar dan kepentingan asing di dalam negeri Qojar. Di tengah situasi seprti ini, Muhammad Syah meninggal dunia pada tahun 1848[21].
d.      Nasiruddin Syah (1848 – 1896)
      Di bawah perlindungan dan jaminan Inggris Rusia, Nasiruddin Syah, naik menduduki tahta kerajaan dan menjadi penguasa Qojar yang paling lama berkuasa yakni dari tahun 1848 sampai 1896. Awal kekuasaan Nasiruddin Syah disibukkan dengan pemberontakan gerakan Mesiah. Pada tahun 1850 Nasiruddin dapat menangkap dan mengeksekusi pimpinan gerakan Mesiah, Sayid Ali Muhammad, dengan dukungan dan bantuan Inggris dan Rusia. Kesuksesan membasmi gerakan Mesiah tidak menjadikan Dinasti Qojar semakin mandiri. Sebaliknya, Dinasti Qojar semakin terjerembak dalam kekangan Inggris dan Rusia. Beberapa daerah kekuasaannya seperti Tashkent, Samarkand dan Bukhara dicaplok oleh Rusia. Dan pada tahun 1857 Nasiruddin mengalami kekalahan perang dan harus menandatangani perjanjian Paris yang menyatakan bahwa:
1.1 Qojar harus keluar dan membebaskan daerah Heart
1.2 Qojar harus mengakui kemerdekaan Afghanistan
1.3  Memberikan konsesi perdagangan yang lebih luas kepada Inggris.
      Pada tahun 1872 Nasiruddin mengadakan kerjasama dengan perusahaan Baron de Reuter dari Inggris untuk melakukan modernisasi dengan mengadakan perubahan-perubahan diantaranya:
a.Di bidang Ekonomi.
1.     Pembangunan jalan rel kereta api
2.      Pengadaan listrik
3.      Mengekplorasi sumber mineral dan logam
4.      Membangun kanal dan irigasi seluruh negeri
5.       Membangun jalan raya
6.      Membangun jaringan telepon
7.      Membangun pabrik-pabrik
8.      mendirikan bank nasional
b.      Di bidang Militer
1.      Pendidikan prajurit yang memadai
2.      Di bidang Pendidikan
3.      Mendirikan perguruan tinggi modern “Darul Funun”
4.      Administrasi dan birokrasi berbasis kekuasaan pemerintah pusat ala Eropa.
5.      Penterjemahan buku ilmu pengetahuan dari bahasa Eropa ke dalam bahasa Persia[22].
       Dengan demikian, periode ini merupakan masa awal yang berpengaruh besar pada kebangkitan dunia pendidikan Iran di kemudian hari.
        Pada tahun 1890, Nasiruddin memberikan konsesi kepada perusahaan Talbot dari Inggris untuk memonopoli produksi, penjualan dan ekspor tembakau yang banyak ditanam petani Iran. Modernisasi yang dilakukan oleh Nasiruddin Syah menimbulkan kebencian dan perlawanan masyarakat. Para intelektual menyerang kediktatoran para penguasa dan praktek korupsi yang meluas di kalangan penguasa. Kaum Bazari, memprotes atas konsensi yang diberikan Syah kepada orang asing yang mengakibatkan mereka bangkrut dan kalah bersaing. Para petani memprotaes rendahnya daya jual hasil pertaniannya. Dan para ulama memandang bahwa kuatnya pengaruh asing akan membahayakan keberadaan agama Islam di Iran[23].
       Berbagai kebencian tersebut kemudian berkembang menjadi perlawanan nasional pada tahun 1891 – 1892. Ulama, intelektual, kaum Bazari, petani dan sebagian aparatur pemerintah berkoalisi berdemonstrasi di berbagai kota penting seperti Syiraz, Isfahan, Tabriz dan Masyhad. Sebuah fatwa dikeluarkan oleh Mirza Husein Syirazi, pemimpin ulama tertinggi (Marja’ at-Taqlid) komunitas Syi’ah, untuk melakukan boikot terhadap monopoli tembakau dan penghapusan konsesi yang diberikan kepada Inggris. Inilah yang kemudian disebut sebagai “The Tobacco Movement”. Akhirnya Nasyiruddin Syah mengabulkan tuntutan para demontran dan sebagai akibatnya Dinasti Qojar menanggung hutan 500.000 pound sterling[24].
       Untuk membayar hutang Nasiruddin meminjam kepada Rusia. Hal tersebut membuat kemarahan rakyat timbul kembali dan pada tahun 1896 Nasiruddin Syah akhirnya dibunuh oleh salah seorang pengikut al-Afgani.
e.       Muzaffaruddin Syah (1896 – 1907)
Di bawah pemerintahan Muzaffaruddin Syah, keadaan Dinasti Qojar semakin melemah. Masa kekuasaannya lebih banyak diwarnai oleh perebutan pengaruh antara Inggris dan Rusia, oposisi rakyat semakin kuat dan hutang yang semakin banyak.
Pada tahun 1900 Syah mendapat pinjaman dari Rusia sebesar 2.400.000 pound sterling dan dua tahun kemudian 1902 menerima penjaman kembali sebesar 10.000.000 rubel. Hutang Syah yang meninggi, cengkeraman Rusia dan Inggris yang semakin kuat serta memburuknya perekonomian rakyat membuat suhu kebencian oposisi rakyat terhadap Dinasti Qojar semakin menaik. Situasi yang demikian membuat terwujudnya apa yang dikenal dalam sejarah dengan “Revolusi Konstitusional (1905 – 1911).
Revolusi tersebut memaksa agar Muzaffaruddin mendirikan Majelis Nasional, yang akhirnya didirikan pertama kali pada awal Agustus 1906 di Iran. Dengan kehadiran Majelis Nasional tersebut kehidupan rakyat mengalami perubahan hingga meninggalnya Muzaffaruddin Syah pada tahun 1907.
f.       Muhammad Ali Syah (1907 – 1909)
Muhammad Ali Syah sangat membenci Majelis Nasional dan berambisi untuk membubarkannya. Dengan menggunakan kekuaran militer dan dibantu oleh Rusia akhirnya Syah dapat membekukan Majelis Nasional bahkan membunuh beberapa anggata Majelis Nasional.
Kejadian tersebut membuat perlawanan rakyat meluas kembali dan menuntut agar Majelis Nasional bentuk kembali. Pada tahun 1909 akhirnya Majelis Nasional dibentuk kembali dan menuntut agar Muhammad Aki Syah Mundur dari jabatannya. Dan digantikan oleh putranya.
g.      Ahmad Syah (1909 – 1925)
Dinasti Qojar tidak mengalami kemajuan yang berarti di bawah pimpinan Ahmad Syah. Bahkan sebaliknya, kesatuan kedaulatan Qojar terpecah-pecah, wilayah utara Iran di bawah pengawasan Rusia, wilayah selatan di bawah pengawasan Inggris dan hanya wilayah tengah yang sempit sebagai zona netral. Di tambah lagi selama perang dunia 1[25], Iran digunakan sebagai salah satu medan pertempuran yang membuat Qojar semakin terpojok dan mengalami kerusakan ekonomi yang parah.
Lemahnya kekuasaan pusat Dinasti Qojar dimanfaatkan oleh Reza Syah, seorang militer karir, yang melakukan persiapan untuk mengambil alih kekuasaan. Dengan menggalang aliansi bersama Kabinet Ziauddin dan Qawam as-Sultanah, posisi reza Syah semakin kuat. Dengan dukungan militer yang terdidik secara modern dan terlatih, Reza Syah kemudian mengontrol hampir seluruh birokrasi pemerintahan. Dan pada tahun 1925 Reza berhasil mengahiri keberadaan Dinasti Qojar dengan memecat Ahmad Syah sebagai penguasa terakhir. Sebagai gantinya, Reza memproklamirkan berdirinya Dinasti Pahlevi dan ia sendiri menjadi raja yang pertama.
C. PERBANDINGAN DINASTI SAFAWI DAN DINASTI QAJAR
Sebab Kemunduran Dinasti Safawi
Sebab Kemunduran Dinasti Qajar
a.    Sepeninggal Abbas I, Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husein (1694- 1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M) dan Abbas III (1733-1736 M). Pada masa raja-raja tersebut kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran. Raja Safi Mirza (cucu Abbas I) juga menjadi penyebab kemunduran Safawi karena dia seorang raja yang lemah dan sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan. Di lain sisi dia juga seorang pencemburu yang akhirnya mengakibatkan mundurnya kemajuan-kemajuan yang telah diperoleh dalam pemerintahan sebelumnya (Abbas I).
b.    Kota Qandahar lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh kerajaan Utsmani. Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya. Akibatnya rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim. Ia memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi'ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni[26]. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi. Pemberontakan bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut wilayah Qandahar[27]. Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi. Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi gebernur di Qandahar dengan gelar Husei Quli Khan (budak Husein). Dengan pengakuai ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 M, ia merebut Kirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan memaksa Shah Husein menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M Shah Husein menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
c.    Salah seorang putera Husein, bernama Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian Dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II di pecat oleh Nadir Khan dan di gantikan oleh Abbas III, yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Dinasti Safawi di Persia (Holt, 1970:428-429).
d.   Adanya konflik yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani.
e.    Berdirinya kerajaan Safawi yang bermadzhab Syi'ah merupakan ancaman bagi kerajaan Usmani, sehingga tidak pernah ada perdamaian antara dua kerajaan besar ini.
f.     Terjadinya dekandensi (kerusakan) moral yang melanda sebagian pemimpin kerajaaan  Safawi, yang juga ikut mempercepat proses kehancuran kerajaan ini. Raja Sulaiman yang pecandu narkotik dan menyenangi kehidupan malam selama tujuh tahun tidak pernah sekalipun ssmenyempatkan diri menangani pemerintahan, begitu pula dengan sultan Husein.
g.    Pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk Abbas I ternyata tidak memiliki semangat perjuangan yang tinggi seperti semangat Qizilbash. Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Safawi.
h.    Seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan dikalangan keluarga istana[28].

a.     Sebagai akibat interaksi antara Iran dengan bangsa Barat. Berkembang paham-paham baru dari Barat serta bertambahnya kaum intelektual di Iran pada masa sesudahnya.
b.     Adanya pandangan bahwa modernisasi Iran adalah satu-satunya cara yang efektif untuk melawan kekuasaan asing dan untuk memperbaiki kondisi kehidupan sebagian besar masyarakat Iran. Komunitas yang terdiri atas orang-orang yang berpendidikan Barat dan pejabat pemerintah Qajar yang terlibat dengan Eropa serta komunitas minoritas yang lebih radikal berkolaborasi dalam gerakan yang menentang Shah Qajar (negara)[29].
c.     Antara tahun 1891-1892 komunitas agama bersama dengan pedagang, intelektual liberal serta para pegawai mengadakan demonstrasi besar-besaran dan memboikot monopoli tembakau pada perusahaan Inggris. Para ulama memimpin demonstasi ini di berbagai kota seperti Shiraz, Isfahan, Tabriz dan Mashad, yang terkenal dengan Pemberontakan Tembakau (Tobacco Protest 1891-1892).
d.    Peristiwa penting di Iran pada awal abad ke-20 selain ditemukannya sumber minyak bumi adalah ”Revolusi Konstitusional".  Peristiwa yang terjadi pada periode Dinasti Qajar ini mengakhiri kekuasaan absolut raja.
e.     Revolusi ini merupakan bentuk gerakan nasionalisme rakyat Iran pada abad ke-20.
f.      Pada tahun 1925 Dinasti Qojar ditumbangkan oleh Dinasti Pahlevi. Terdapat faktor internal dan eksternal yang menyebabkan hal ini terjadi. Faktor internal yang paling menonjol adalah lemahnya pemerintahan pusat dan terjadinya pemberontakan-pemberontakan lokal. Berbagai pemberontakan itu tidak mampu dibendung dan diredam oleh pemerintahan pusat sebagai pengendali utama keamanan, semakin lama pemberontakan itu menggerogoti kekuasaan Dinasti Qojar dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk berlawanan dengan kekuasaan Dinasti Qojar.
g.     Faktor eksternal yang muncul adalah pecahnya Perang Dunia I yang menjadikan Iran sebagai arena pertempuran, walaupun secara politik posisi Iran dalam perang itu adalah netral. Rusia ngotot untuk mempertahankan cadangan minyak di Baku dan Laut Kaspia. Tentara Rusia terlibat dalam pertempuran sengit dengan tentara Turki di Iran barat laut. Imperialis Inggris, di pihak lain, mempertahankan kepentingan mereka di ladang minyak Khuzistan. Situasi pelik dan kacau demikian itu menyulut Sayid Ziauddin Taba Tabai, seorang politisi Iran, dan Reza Khan, seorang perwira kavaleri, memanfaatkan situasi untuk melancarkan pemberontakan atas dinasti Qojar.


KESIMPULAN
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah tarekat yang berdiri di Ardabil, tarekat tersebut bernama Safawi. Kerajaan Safawi berada dipuncak kajayaan pada masa kekuasaan Abbas I. Banyak kemajuan yang yang dicapai kareajann Safawi antara lain dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan bidang pembangunan fisik dan seni. Akan tetapi setelah Abbas meninggal merajaan Safawi mengalami kemunduran, di sebabkan karena raja yang memerintah sangat lemah, sering terjadinya konflik intern dalm perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. Hanya dalam satu abad setelah ditinggalkan Abbas, jerajaan Safawi hancur.
Dinasti Qojar telah memainkan peran penting dalam mengenalkan program modernisasi, baik di dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, maupun militer. Yang di kemudian hari memberikan kontribusi yang sangat besar bagi terbentuknya Negara Iran modern. penguasa dinasti Qojar: Agha Mohammad Khan Qojar (1794-1797), Fath Ali Shah (1797-1834), Mohammad Shah Qojar (1834-1848), Nasser-al-Din Shah (1848-1896), Mozaffar al-Din Shah Qojar (1896-1907), Mohammad Ali Shah (1907-1909),Soltan Ahmad Shah Qojar (1909-1925).








DAFTAR PUSTAKA
Al-Usairy Ahmad, 2003, Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Media Eka Sarana.
Hamka, 2005, Sejarah Umat Islam, Singapura :Pustaka Nasional PTE LTD, Cet. V
Thohir Ajid, 2009, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam :Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Rajawali Pers.
Yatim Badri, 2001,  Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers
http://andwarck.wordpress.com/tag/kerajaan-safawi/andwarck











[1] http://andwarck.wordpress.com/tag/kerajaan-safawi/andwarck , 11-12-2012, 13: 30

[2] Badri Yatim, 2001,  Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, Hlm. 138
[3] Ibid, 139
[4]  Ibid, 139-140
[5] Ajid Thohir, 2009, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam :Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: Rajawali Pers. Hlm.172
[6] Badri Yatim, Hlm. 140-141
[7] Ibid, Hlm. 141
[8] Ibid, Hlm. 141
[10] Badri Yatim, Hlm. 141
[11] Ibid, 142

[13] Ibid, 142
[14] Ibid, Hlm, 143
        [15] Ibid, Hlm. 144

      [16] Ibid, Hlm. 144-145
      [17] Ahmad Al-Usairy, 2003, Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, Jakarta: Media Eka Sarana. Hlm. 440
     [18] Ibid, 440
          [19] http://www.hidayatullah.com/. 12-12-2012, 13. 30
           [20] Ibid, www.hidayatullah.com
      [21] Hamka, Sejarah Umat Islam (Pustaka Nasional PTE LTD Singapura, Cet. V, 2005), h. 474
     [22] Ibid, Hlm. 475
         [24] Http://www.pesantrenonline.com. 12-12-2012, 13.30
      [25] Http://www.pesantrenonline.com. 12-12-2012, 13.30
[26] Badri Yatim, Hlm. 156
[27] Badri Yatim, Hlm. 157
[28]  Ibid, Hlm. 158

Tidak ada komentar:

Posting Komentar