Kamis, 08 Mei 2014


Perbandingan Perkembangan Peradaban Islam Antara Dinasti Safawi dan Qojar




Disusun oleh :
Ahmad Muslih      (10420002)



Dosen Pembimbing :
Padila, S.S, M. Hum

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM 
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH 
PALEMBANG
 2012




PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinasti Qajar merupakan salah satu kerajaan yang pernah menguasai Persia selama kurang lebih 146 tahun (1779-1925). Pendiri Dinasti ini adalah Agha Muhammad Khan dan sejak saatnya mulai dipakai gelar kerajaan Shah In-Shah Iran. Dalam masalah keagamaan Dinasti Qajar tidak jauh berbeda dengan Dinasti Safawi, dengan demikian faham Syi'ah masih sangat mendominasi sehingga tidaklah mengherankan jika dikatakan Iran Negara Syi'ah terbesar dan terkuat di dunia serta merupakan sumber dogma Syi'ah. Nashiruddin adalah pemimpin Dinasti Qajar keempat. Ia merupakan putera dari pemimpin ketiga Dinasti , dan memerintah dari tahun 1848-1896 M. Keberhasilan yang dicapai Nashiruddin tidak lepas dari usaha dan kebijakan yang diterapkan dalam rangka mengendalikan pemerintahan. Kebijakan-kebijakan itu meliputi berbagai bidang, antara lain: bidang politik tetep memakai Perdana Menteri. Dalam bidang pendidikan dengan mendirikan perguruan tinggi Dar al Funun, bidang militer dengan menata kembali pasukan militer serta membentuk Brigade Cossack., bidang ekonomi dengan memberikan konsesi-konsesi kepada pihak asing serta bidang keagamaan yaitu melakukan pembatasan hak keagamaan dan tetap[1] membolehkan pelaksanaan kegiatan ta'ziyah.[2]






B. Perkembangan Kerajaan Safawi di Persia
Pada waktu kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaannya, kerajaan Safawi di Persia masih baru berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini berkembang dengan cepat. Nama Safawi ini terus di pertahankan sampai tarekat Safawiyah menjadi suatu gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering berselisih dengan kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam lainnya seperti kerajaan Turki Usmani dan Mughal. Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut Syi'ah dan dijadikan sebagai madzhab negara. Oleh karena itu, kerajaan Safawi dianggap sebagai peletak dasar pertama terbentuknya negara Iran.
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di daerah Ardabil kota Azerbaijan. Tarekat ini bernama Safawiyah sesuai dengan nama pendirinya Safi Al-Din, salah satu keturunan Imam Syi'ah yang keenam “Musa al-Kazim”. Pada awalnya tarekat ini bertujuan memerangi orang-orang yang ingkar dan pada akhirnya memerangi orang-orang ahli bid'ah. Tarekat ini menjadi semakin penting setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia. Dalam perkembangannya Bangsa Safawi (tarekat Safawiyah) sangat fanatik terhadap ajaran-ajarannya. Hal ini ditandai dengan kuatnya keinginan mereka untuk berkuasa karena dengan berkuasa mereka dapat menjalankan ajaran agama yang telah mereka yakini (ajaran Syi'ah). Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syiah.
Bermula dari prajurit akhirnya mereka memasuki Dunia perpolitikan pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menumbuhkan kegiatan politik di dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini
 menimbulkan konflik dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku Turki, yang akhirnya menyebabkan kelompok Juneid kalah dan diasingkan kesuatu tempat. Di tempat baru ini ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AKKoyunlu, juga suku bangsa Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia (Holt, 1970:396). Tahun 1459 M, Juneid mencoba merebut Ardabil tapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan dan ia terbunuh dalam pertempuran tersebut (Brockelman, 1974:494). Penggantinya diserahkan kepada anaknya Haidar secara resmi pada tahun 1470 M, lalu Haidar kawin dengan seorang cucu Uzun Hasan dan lahirlah Isma'il yang kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia dan mengatakan bahwa Syi'ahlah yang resmi dijadikan mazdhab kerajaan ini. Kerajaan inilah yang dianggap sebagai peletak batu pertama negara Iran (Yatim, 2003:139-140). Gerakan Militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar di pandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu setelah ia menang dari Kara Koyunlu (1476 M). Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan, AK Koyunlu mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan ia terbunuh (Holt, 1970:396). Ali, putera dan pengganti Haidar, didesak bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Akan tetapi Ya'kub pemimpin AK Koyunlu menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim, Ismail dan ibunya di Fars (1489-1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putera mahkota AK Koyunlu dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah dapat dikalahkan, Ali bersaudara kembali ke Ardabil. Namun, tidak lama kemudian Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara dan Ali terbunuh (1494 M) (Holt, 1970:397). Periode selanjutnya, kepemimpinan gerakan Safawi di serahkan pada Ismail. Selama 5 tahun, Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan untuk menyiapkan pasukan dan kekuatan. Pasukan yang di persiapkan itu diberi nama Qizilbash (baret merah). Pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash dibawah pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu (domba putih) di sharur dekat Nakh Chivan. Qizilbash terus berusaha memasuki dan menaklukkan Tabriz, yakni ibu kota AK Koyunlu dan akhirnya berhasil dan mendudukinya. Di kota Tabriz Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Safawi. Ia disebut juga Ismail I (Brockelmann, 1974:398). Ismail I berkuasa kurang lebih 23 tahun antara 1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, Buktinya ia dapat menghancurkan sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M) Baghdad dan daerah Barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M) dan Khurasan. Hanya dalam waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan bagian timur Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent) .
Bahkan tidak sampai di situ saja, ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan wilayah kekuasaan ke daerah-daerah lainnya seperti Turki Usmani. Ismail berusaha merebut dan mengadakan ekspansi ke wilayah kerajaan Usmani (1514 M), tetapi dalam peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan malah Turki Usmani yang di pimpin oleh sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan di kalangan militer Turki di negerinya (Hassan, 1989:337). Kekalahan tersebut meruntuhkan kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya dia berubah, dia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan itu berdampak negatif bagi kerajaan Safawi dan pada akhirnya terjadi persaingan dalam merebut pengaruh untuk dapat memimpin kerajaan Safawi antara pimpinan sukusuku Turki, pejabat keturunan Persia dan Qizibash (Yatim, 2003:142). Rasa pemusuhan dengan Kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail I, peperangan antara dua kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada masa pemerintahan Tahmasp I (1524-1576 M),[3] Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1567M). Pada masa tiga raja tersebut kerajaan Safawi mengalami kelemahan. Hal ini di karenakan sering terjadinya peperangan melawan kerajaan Usmani yang lebih kuat, juga sering terjadi pertentangan antara kelompok dari dalam kerajaan Safawi sendiri. [4]
Berikut urutan penguasa kerajaan Safawi :
1. Isma'il I (1501-1524 M)
2. Tahmasp I (1524-1576 M)
3. Isma'il II (1576-1577 M)
4. Muhammad Khudabanda (1577-1587 M)
5. Abbas I (1587-1628 M)
6. Safi Mirza (1628-1642 M)
7. Abbas II (1642-1667 M)
8. Sulaiman (1667-1694 M)
9. Husein I (1694-1722 M)
10. Tahmasp II (1722-1732 M)
11. Abbas III (1732-1736 M)

C. Masa Kejayaan Kerajaan Safawi
Kerajaan Safawi berjaya pada masa pemerintahan raja Safawi kelima yang bernama Raja Abba I, Raja Abbas I berkuasa pada  tahun 1588-1628 M.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi adalah:
1. Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang berasal dari budak-budak dan tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia.
2. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani dengan jalan menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan disamping itu Abbas berjanji tidak akan menghina tiga Khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar dan Usman) dalam khutbahkhutbah Jum'at. Sebagai jaminan atas syarat itu, Abbas menyerahkan saudara sepupunya Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul.[5]
Masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan sekaligus berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaan yang pernah direbut oleh kerajaan lain seperti Tabriz, Sirwan dan sebagainya yang sebelumnya lepas direbut oleh kerajaan usmani. Kemajuan yang di capai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik, melainkan bidang lainnya juga mangalami kemajuan.

Kemajuan-kemajaun itu antara lain :
1. Bidang Ekonomi
Kemajuan ekonomi pada masa itu bermula dengan penguasaan atas kepulauan Hurmuz dan pelabuhan Gumrun yang diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan demikian Safawiyah menguasai jalur perdagangan antara Barat dan Timur. Di samping sector perdagangan, Safawiyah juga mengalami kemajuan dalam bidang pertanian, terutama hasil pertanian dari
daerah Bulan Sabit yang sangat subur (Fertille Crescent).
 2. Bidang Ilmu Pengatahuan
Sepanjang sejarah Islam Persia di kenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sejumlah ilmuan yang selalu hadir di majlis istana yaitu Baha al-Dina al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-Din al-Syaerazi, filosof, dan Muhammad al-Baqir Ibn Muhammad Damad, filosof, ahli sejarah, teolog dan seorang yang pernah pernah mengadakan observasi tentang kehidupan lebah (Brockelmann, 1974:503-504).
3. Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Kemajuan bidang seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah Isfahan sebagai ibu kota kerajaan ini. Sejumlah masjid, sekolah, rumah sakit, jembatan yang memanjang diatas Zende Rud dan Istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga diperindah dengan kebun wisata yang tertata apik. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat sejumlah 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum. Unsur lainnya terlihat dalam bentuk[6] kerajinan tangan, keramik, permadani dan benda seni lainnya.
4. Bidang tarekat
            Sebagiamna diketahui bahwa cikal bakal kerajaan safawi adalah gerakan sufistik, yaitu gerakan tarekat.oleh karena itu, kemajuan dibiadang tarekat pun cukup maju. Bahkan gerakan tarekat masa kini tidak berpikir di biadang keagamaan, tetapi juga dalam di bidang politik dan bidang pemerintahan.
5. Bidang arsitektur
            Penguasa kerajaan safawi telah berhasil mencitakan Isfahan, ibukota kerajaan menjadi kota yang sangat indah. Dikota isfahan ini berdari bangunan-bangunan besar berarsitektur yang bernilai tinggi dan indah seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan, raksasa di atas Zede Rud, dan istana Cihil Sutu. Dalam kota Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian umum. 


D. Dinasti Qojar
Iran era modern bermula dengan tampilnya rezim Qajar. Qajar meraih kekuasaan setelah melewati periode anarkis dan pergolakan kesukuan untuk merebut kekuasaan atas negara Iran. Dinasti ini menguasai Iran mulai tahun 1794 sampai tahun 1925 dengan rezim memusat yang lemah karena berhadapan dengan faktor-faktor kesukuan propinsional yang kuat, dan merupakan rezim di mana tingkat independensi keagamanannya yang sangat tinggi. Rezim Qajar tidak pernah terkonsolidasikan dengan baik. Angkatan bersenjata Qajar terdiri dari sejumlah kecil pasukan pengawal Turkoman dan sebagaian besar budak-budak Georgia. Pemerintahan pusat Qajar merupakan pemerintahan istana yang terlalu lemah untuk mengembangkan secara efektif sistem pemerintahan. negara ini. Beberapa propinsi yang mereka kuasai terpecah belah menjadi sejumlah faksi kesukuan, etnik, dan faksi lokal yang dikepalai oleh tokoh-tokoh kesukuan-lokal mereka. Rezim baru tersebut sama sekali tidak pernah mencapai tingkat legitimasi yang sebelumnya pernah dicapai pemerintahan Safaviyah dan tidak pernah menegakkan kekuasannya secara penuh.
Ketidakpuasan yang semakin meningkat ter­hadap kemandulan serta korupsi dalam kerajaan, seiring dengan kekecewaan terhadap dominasi ekonomi bangsa asing dan tekanan politik imperialis, menemukan ekspresinya dalam bentuk gerakan massa. Revolusi Bab yang terjadi pada tahun 1844 dapat dipadamkan oleh Penguasa Qojar, akan tetapi gerakan tersebut mewariskan sebuah tradisi revolusi yang mengambil bentuk dari berbagai sekte religius seperti gerakan Bahai. Gerakan massa meletus kembali sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan politik luar negeri Qajar yang meng­hadiahkan konsesi kepada Perusahaan Tembakau Inggris. Berawal dari sebuah kekecewaan lantas berubah menjadi gerakan yang menyebar luas dan kerusuhan yang merebak di berbagai tempat yang berbeda. Hasil gerakan radikal ini yang pa­ling utama adalah tuntutan akan reformasi kons­titusional, yang diimplementasikan pada tahun 1906.
Gerakan revolusi ini menuntut reformasi yang demokratis, dipimpin oleh sebuah aliansi tak tetap dari kelas peda­gang dan institusi religius yang mendapatkan dukungan mereka dari para bazâri (pekerja dan pedagang), para penjaga toko dan unsur kelas yang lebih rendah. Monarki dipaksa untuk merumuskan sebuah konstitusi dimana hak-hak borjuis-demokrat, seperti kebebasan berbicara, kemerdekaan berkumpul dan berserikat dianugerahkan dan pedagang serta para saudagar diberi hak-hak perwakilan dalam majelis (parlemen) secara terbatas. Gerakan ini juga menuntut pembaharuan konstitusional guna membatasi kekuasaan mutlak kerajaan. Namun, meskipun kekuatan ini membangkitkan gerakan nasionalis awal dan perlawanan terhadap tekanan pihak asing, Iran, sebagaimana kebanyakan negara Muslim lainnya, tetap mengalami pengaruh imperialisme Eropa:
That state have come to the semi-colone place from first until now people Belgia run on duty tollbooth … all heroic of Swedia master the state police … all Russia army fulfill the baracs … people Hungaria manage the exchequer … Dutch nation have and operate the single telegraph channel .. and big industrial operations ( textile).
(Negara itu telah menjadi semikoloni tempat dari dulu hingga sekarang orang-orang Belgia menjalankan dinas pabean … para perwira Swedia menguasai polisi negara … para tentara Rusia memenuhi (barak-barak) … orang-orang Hungaria mengurusi perbendaharaan … bangsa Belanda memiliki dan mengoperasikan satu-satunya saluran telegraf .. dan operasi-operasi industri besar (tekstil).)
Berbagai aksi protes publik tersebut mengantarkan pada penyelenggaraan sidang dewan konstituante nasional pada 1906. Keanggotaan konstituante tersebut, 26 persen dari kalangan tokoh artisan (pengrajin), 15 persen dari kalanga pedagang, dan 20 persen dari kalangan ulama. Dewan ini mencerminkan sebuah koalisi antara ulama, pedagang, dan kelompok liberal didikan Barat, menciptakan konstitusi yang secara resmi tetap berlalu sampai tahun 1979.
Pemberlakuan konstitusi tersebut justru merupakan awal dari sebuah pergolakan yang berkepanjangan. Kubu konstitusionalis yang didukung oleh ulama, pedagang, artisan, dan tokoh-tokoh suku Bakhtiyati ditentang oleh Syah, ulama konservatif, dan oleh tuan-tuan tanah yang kaya raya dan juga kaki tangan mereka. Berkobarlah serangkaian konflik sengit yang sering menjurus kepada pertempuran fisik. Pada 1907 dan 1908, Syah menggunakan Brigade Cossack untuk membubarkan parlemen dan kalangan konstitusionalis menduduki kekuasaan antara 1909-1911.
Negara Iran modern lahir dari sebuah periode anarkis yang berlangsung dari tahun 1911 sampai 1925. Selama periode ini intervensi asing mencapai puncaknya. Dalam Perang Dunia I tentara Rusia dipusatkan di beberapa propinsi bagian utara, sedangkan pasukan Inggris menduduki wilayah bagian selatan Iran. Dengan hancurnya rezim Tsaris pada tahun 1917, seluruh wilayah Iran jatuh ke tangan Inggris, dan dengan perjanjian Anglo-Parsian tahun 1919, menjadikan Iran sebagai pemerintahan protektorat Inggris. Pada saat bersamaan Rusia mendukung gerakan kelompok separatis di Jilan dan Azerbaijan dan Partai Komunis di Tabriz dan Teheran. Sekalipun demikian, Inggris dan Rusia menyepakati perjanjian kerjasama dengan beberapa persyaratan yang menguntungkan pihak Iran. Rusia sepakat untuk menarik diri dari Jilan dan menutup hutang dan konsesi Iran, dan menyerahkan kembali hak-hak khusus yang sebelumnya telah diberikan kepada pihak asing di Iran. Rusia bersedia menyediakan industri penangkapan ikan di laut Caspia dan berhak untuk melibatkan diri manakala Iran terancam oleh kekuatan asing lainnya. Dengan dukungan perjanjian baru ini, Iran membatalkan perjanjian 1919 dengan Inggris yang berat sebelah.
Pada 1925 Dinasti Qajar ditumbangkan oleh Dinasti Pahlevi. Terdapat faktor internal dan eksternal yang menyebabkan hal ini terjadi. Faktor internal yang paling menonjol adalah lemahnya pemerintahan pusat dan terjadinya pemberontakan-pemberontakan lokal. Berbagai pemberontakan itu tidak mampu dibendung dan diredam oleh pemerintahan pusat sebagai pengendali utama keamanan, semakin lama pemberontakan itu menggerogoti kekuasaan Dinasti Qajar dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk berlawanan dengan kekuasaan Dinasti Qajar.
Faktor eksternal yang muncul adalah pecahnya Perang Dunia I yang menjadikan Iran sebagai arena pertempuran, walaupun secara politik posisi Iran dalam perang itu adalah netral. Rusia ngotot untuk mempertahankan cadangan minyak di Baku dan Laut Kaspia. Tentara Ru­sia terlibat dalam pertempuran sengit dengan tentara Turki di Iran barat laut. Imperialis Inggris, di pihak lain, mempertahankan kepentingan mereka di ladang minyak Khuzistan. Situasi pelik dan kacau demikian itu menyulut Sayid Ziauddin Taba Tabai, seorang politisi Iran, dan Reza Khan, seorang perwira kavaleri, memanfaatkan situasi untuk melancarkan [7]pemberontakan atas dinasti Qajar.



Tabel perbandingan dinasti Safawi dan Qojar
Peradadaban Dinasti Safawi
Peradadaban Dinasti Qojar
a.       Dinasti Safawi
berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di daerah Ardabil kota Azerbaijan. Tarekat ini bernama Safawiyah sesuai dengan nama pendirinya Safi Al-Din, salah satu keturunan Imam Syi'ah yang keenam “Musa al-Kazim”. Pada awalnya tarekat ini bertujuan memerangi orang-orang yang ingkar dan pada akhirnya memerangi orang-orang ahli bid'ah. Tarekat ini menjadi semakin penting setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan Anatolia. Dalam perkembangannya Bangsa Safawi (tarekat Safawiyah) sangat fanatik terhadap ajaran-ajarannya. Hal ini ditandai dengan kuatnya keinginan mereka untuk berkuasa karena dengan berkuasa mereka dapat menjalankan ajaran agama yang telah mereka yakini (ajaran Syi'ah). Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab selain Syiah.
b.      Awal berdirinya Dinasti safawi
Pada tahun 1252-1334 M, nama pendirinya adalah shafi Ad-Din.
c.       Kemajuan-kemajua yang di capai dinasti safawi
Ø  Bidang Ilmu pengetahuan
Ø  Bidang Ekonomi
Ø  Bidang Arsitektur
Ø  Bidang kesenian
Ø  Bidang Tarekat
Ø  Bidang pembangunan Fisik dan seni.



a.       Dinasti Qojar
Iran era modern bermula dengan tampilnya rezim Qajar. Qajar meraih kekuasaan setelah melewati periode anarkis dan pergolakan kesukuan untuk merebut kekuasaan atas negara Iran. Dinasti ini menguasai Iran mulai tahun 1794 sampai tahun 1925 dengan rezim memusat yang lemah karena berhadapan dengan faktor-faktor kesukuan propinsional yang kuat, dan merupakan rezim di mana tingkat independensi keagamanannya yang sangat tinggi. Rezim Qajar tidak pernah terkonsolidasikan dengan baik. Angkatan bersenjata Qajar terdiri dari sejumlah kecil pasukan pengawal Turkoman dan sebagaian besar budak-budak Georgia. Pemerintahan pusat Qajar merupakan pemerintahan istana yang terlalu lemah untuk mengembangkan secara efektif sistem pemerintahan.
b.      Dinasti Qojar tidak bertahan lama
Pada 1925 Dinasti Qajar ditumbangkan oleh Dinasti Pahlevi. Terdapat faktor internal dan eksternal yang menyebabkan hal ini terjadi. Faktor internal yang paling menonjol adalah lemahnya pemerintahan pusat dan terjadinya pemberontakan-pemberontakan lokal. Berbagai pemberontakan itu tidak mampu dibendung dan diredam oleh pemerintahan pusat sebagai pengendali utama keamanan[8], semakin lama pemberontakan itu menggerogoti kekuasaan Dinasti Qajar dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk berlawanan dengan kekuasaan [9]Dinasti Qajar.









DAFTAR PUSTAKA
Samsul Munir Amin, sejarah peradaban islam, jakarta: AMZAH, 2010, hlm. 187.
http://wikipedia, dinasti Qojar. Com
Hasan Ibrahim Hasan, sejarah dan kebudayaan islam, Yogyakarta: kota kembang, 1987, hlm. 336.


Saifullah, sejarah dan kebudayaan islam, Pustakapelajar, Yogyakarta, 2010.
Badri Yatim, sejarah peradaban islam, jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2010, hlm. 138.

Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam,  Jakarta, Raja GRafindo, 2009.






[2] Samsul Munir Amin,  sejarah peradaban islam, jakarta: AMZAH, 2010, hlm. 187.

[3] Badri Yatim, sejarah peradaban islam, jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2010, hlm. 138.
[4] Ajid Thohir, Studi Kawasan Dunia Islam,  Jakarta, RajaGRafindo, 2009.


[5] Saifullah, sejarah dan kebudayaan islam, Pustakapelajar, Yogyakarta, 2010.

[6] Hasan Ibrahim Hasan, sejarah dan kebudayaan islam, Yogyakarta: kota kembang, 1987, hlm. 336.
[7] http://wikipedia, dinasti Qojar. Com

[8] Badri Yatim, sejarah peradaban islam, jakarta: PT Raja Grafindo, 2010, hlm. 138.
[9] Samsul Munir Amin, sejarah peradaban islam, jakarta: AMZAH, 2010, hlm. 187.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar