Perbandingan Perkembangan Peradaban Islam
Antara Dinasti Safawi dan Qojar
Disusun oleh
:
Ahmad Muslih
(10420002)
Dosen
Pembimbing :
Padila, S.S, M. Hum
FAKULTAS
ADAB DAN HUMANIORA
SEJARAH
KEBUDAYAAN ISLAM
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2012
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dinasti Qajar merupakan salah satu kerajaan yang pernah
menguasai Persia selama kurang lebih 146 tahun (1779-1925). Pendiri Dinasti ini
adalah Agha Muhammad Khan dan sejak saatnya mulai dipakai gelar kerajaan Shah In-Shah
Iran. Dalam masalah keagamaan Dinasti Qajar tidak jauh berbeda dengan Dinasti
Safawi, dengan demikian faham Syi'ah masih sangat mendominasi sehingga tidaklah
mengherankan jika dikatakan Iran Negara Syi'ah terbesar dan terkuat di dunia
serta merupakan sumber dogma Syi'ah. Nashiruddin adalah pemimpin Dinasti Qajar
keempat. Ia merupakan putera dari pemimpin ketiga Dinasti , dan memerintah dari
tahun 1848-1896 M. Keberhasilan yang dicapai Nashiruddin tidak lepas dari usaha
dan kebijakan yang diterapkan dalam rangka mengendalikan pemerintahan.
Kebijakan-kebijakan itu meliputi berbagai bidang, antara lain: bidang politik
tetep memakai Perdana Menteri. Dalam bidang pendidikan dengan mendirikan
perguruan tinggi Dar al Funun, bidang militer dengan menata kembali pasukan
militer serta membentuk Brigade Cossack., bidang ekonomi dengan memberikan
konsesi-konsesi kepada pihak asing serta bidang keagamaan yaitu melakukan
pembatasan hak keagamaan dan tetap[1]
membolehkan pelaksanaan kegiatan ta'ziyah.[2]
B. Perkembangan Kerajaan Safawi di
Persia
Pada waktu
kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaannya, kerajaan Safawi di
Persia masih baru berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini berkembang
dengan cepat. Nama Safawi ini terus di pertahankan sampai tarekat Safawiyah
menjadi suatu gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan
Safawi. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering berselisih dengan
kerajaan Turki Usmani, Kerajaan Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar
Islam lainnya seperti kerajaan Turki Usmani dan Mughal. Kerajaan ini menyatakan
sebagai penganut Syi'ah dan dijadikan sebagai madzhab negara. Oleh karena itu,
kerajaan Safawi dianggap sebagai peletak dasar pertama terbentuknya negara
Iran.
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah
gerakan tarekat yang berdiri di daerah Ardabil kota Azerbaijan. Tarekat ini
bernama Safawiyah sesuai dengan nama pendirinya Safi Al-Din, salah satu
keturunan Imam Syi'ah yang keenam “Musa al-Kazim”. Pada awalnya tarekat ini
bertujuan memerangi orang-orang yang ingkar dan pada akhirnya memerangi
orang-orang ahli bid'ah. Tarekat ini menjadi semakin penting setelah ia
mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal
menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syiria dan
Anatolia. Dalam perkembangannya Bangsa Safawi (tarekat Safawiyah) sangat
fanatik terhadap ajaran-ajarannya. Hal ini ditandai dengan kuatnya keinginan
mereka untuk berkuasa karena dengan berkuasa mereka dapat menjalankan ajaran agama
yang telah mereka yakini (ajaran Syi'ah). Karena itu, lama kelamaan murid-murid
tarekat Safawiyah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan dan
menentang setiap orang yang bermazhab selain Syiah.
Bermula dari
prajurit akhirnya mereka memasuki Dunia perpolitikan pada masa kepemimpinan
Juneid (1447-1460 M). Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menumbuhkan
kegiatan politik di dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini
menimbulkan konflik dengan penguasa Kara
Koyunlu (domba hitam), salah satu suku Turki, yang akhirnya menyebabkan
kelompok Juneid kalah dan diasingkan kesuatu tempat. Di tempat baru ini ia
mendapat perlindungan dari penguasa Diyar Bakr, AKKoyunlu, juga suku bangsa
Turki. Ia tinggal di istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian
besar Persia (Holt, 1970:396). Tahun 1459 M, Juneid mencoba merebut Ardabil
tapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia tetapi pasukan yang
dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan dan ia terbunuh dalam pertempuran
tersebut (Brockelman, 1974:494). Penggantinya diserahkan kepada anaknya Haidar
secara resmi pada tahun 1470 M, lalu Haidar kawin dengan seorang cucu Uzun
Hasan dan lahirlah Isma'il yang kemudian hari menjadi pendiri kerajaan Safawi
di Persia dan mengatakan bahwa Syi'ahlah yang resmi dijadikan mazdhab kerajaan
ini. Kerajaan inilah yang dianggap sebagai peletak batu pertama negara Iran
(Yatim, 2003:139-140). Gerakan Militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar di
pandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu setelah ia menang dari Kara
Koyunlu (1476 M). Karena itu, ketika Safawi menyerang wilayah Sircassia dan
pasukan Sirwan, AK Koyunlu mengirimkan bantuan militer kepada Sirwan, sehingga
pasukan Haidar kalah dan ia terbunuh (Holt, 1970:396). Ali, putera dan
pengganti Haidar, didesak bala tentaranya untuk menuntut balas atas kematian
ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Akan tetapi Ya'kub pemimpin AK Koyunlu
menangkap dan memenjarakan Ali bersama saudaranya, Ibrahim, Ismail dan ibunya
di Fars (1489-1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putera mahkota AK Koyunlu
dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya. Setelah dapat
dikalahkan, Ali bersaudara kembali ke Ardabil. Namun, tidak lama kemudian
Rustam berbalik memusuhi dan menyerang Ali bersaudara dan Ali terbunuh (1494 M)
(Holt, 1970:397). Periode selanjutnya, kepemimpinan gerakan Safawi di serahkan
pada Ismail. Selama 5 tahun, Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan untuk
menyiapkan pasukan dan kekuatan. Pasukan yang di persiapkan itu diberi nama
Qizilbash (baret merah). Pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash dibawah
pimpinan Ismail menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu (domba putih) di sharur
dekat Nakh Chivan. Qizilbash terus berusaha memasuki dan menaklukkan
Tabriz, yakni ibu kota AK Koyunlu dan akhirnya berhasil dan mendudukinya. Di
kota Tabriz Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama Dinasti
Safawi. Ia disebut juga Ismail I (Brockelmann, 1974:398). Ismail I berkuasa
kurang lebih 23 tahun antara 1501-1524 M. Pada sepuluh tahun pertama ia
berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, Buktinya ia dapat menghancurkan
sisa-sisa kekuatan AK Koyunlu di Hamadan (1503 M), menguasai propinsi Kaspia di
Nazandaran, Gurgan dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M) Baghdad dan
daerah Barat daya Persia (1508 M), Sirwan (1509 M) dan Khurasan. Hanya dalam
waktu sepuluh tahun itu wilayah kekuasaannya sudah meliputi seluruh Persia dan
bagian timur Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent) .
Bahkan tidak sampai di situ saja,
ambisi politik mendorongnya untuk terus mengembangkan wilayah kekuasaan ke
daerah-daerah lainnya seperti Turki Usmani. Ismail berusaha merebut dan
mengadakan ekspansi ke wilayah kerajaan Usmani (1514 M), tetapi dalam
peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan malah Turki Usmani yang di pimpin
oleh sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi terselamatkan dengan
pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan di kalangan militer
Turki di negerinya (Hassan, 1989:337). Kekalahan tersebut meruntuhkan
kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya dia berubah, dia lebih senang
menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan itu berdampak
negatif bagi kerajaan Safawi dan pada akhirnya terjadi persaingan dalam merebut
pengaruh untuk dapat memimpin kerajaan Safawi antara pimpinan sukusuku Turki,
pejabat keturunan Persia dan Qizibash (Yatim, 2003:142). Rasa pemusuhan dengan
Kerajaan Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail I, peperangan antara dua
kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada masa pemerintahan Tahmasp I
(1524-1576 M),[3]
Ismail II (1576-1577 M) dan Muhammad Khudabanda (1577-1567M). Pada masa tiga
raja tersebut kerajaan Safawi mengalami kelemahan. Hal ini di karenakan sering
terjadinya peperangan melawan kerajaan Usmani yang lebih kuat, juga sering terjadi
pertentangan antara kelompok dari dalam kerajaan Safawi sendiri. [4]
Berikut urutan penguasa kerajaan
Safawi :
1. Isma'il I (1501-1524 M)
2. Tahmasp I (1524-1576 M)
3. Isma'il II (1576-1577 M)
4. Muhammad Khudabanda (1577-1587
M)
5. Abbas I (1587-1628 M)
6. Safi Mirza (1628-1642 M)
7. Abbas II (1642-1667 M)
8. Sulaiman (1667-1694 M)
9. Husein I (1694-1722 M)
10. Tahmasp II (1722-1732 M)
11. Abbas III (1732-1736 M)
C. Masa Kejayaan Kerajaan Safawi
Kerajaan Safawi berjaya pada masa
pemerintahan raja Safawi kelima yang bernama Raja Abba I, Raja Abbas I berkuasa
pada tahun 1588-1628 M.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh
Abbas I dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi adalah:
1. Berusaha menghilangkan dominasi
pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang berasal dari
budak-budak dan tawanan perang bangsa Georgia, Armenia dan Sircassia.
2. Mengadakan perjanjian damai
dengan Turki Usmani dengan jalan menyerahkan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan
disamping itu Abbas berjanji tidak akan menghina tiga Khalifah pertama dalam
Islam (Abu Bakar, Umar dan Usman) dalam khutbahkhutbah Jum'at. Sebagai jaminan
atas syarat itu, Abbas menyerahkan saudara sepupunya Haidar Mirza sebagai
sandera di Istambul.[5]
Masa kekuasaan
Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Ia berhasil mengatasi
gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara dan sekaligus
berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaan yang pernah direbut oleh
kerajaan lain seperti Tabriz, Sirwan dan sebagainya yang sebelumnya lepas
direbut oleh kerajaan usmani.
Kemajuan
yang di capai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas di bidang politik, melainkan
bidang lainnya juga mangalami kemajuan.
Kemajuan-kemajaun
itu antara lain :
1. Bidang Ekonomi
Kemajuan ekonomi pada masa itu
bermula dengan penguasaan atas kepulauan Hurmuz dan pelabuhan Gumrun yang
diubah menjadi Bandar Abbas. Dengan demikian Safawiyah menguasai jalur
perdagangan antara Barat dan Timur. Di samping sector perdagangan, Safawiyah
juga mengalami kemajuan dalam bidang pertanian, terutama hasil pertanian dari
daerah Bulan Sabit yang sangat
subur (Fertille Crescent).
2. Bidang Ilmu
Pengatahuan
Sepanjang sejarah Islam Persia di
kenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan berjasa mengembangkan
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sejumlah ilmuan yang selalu hadir di majlis
istana yaitu Baha al-Dina al-Syaerazi, generalis ilmu pengetahuan, Sadar al-Din
al-Syaerazi, filosof, dan Muhammad al-Baqir Ibn Muhammad Damad, filosof, ahli
sejarah, teolog dan seorang yang pernah pernah mengadakan observasi tentang
kehidupan lebah (Brockelmann, 1974:503-504).
3. Bidang Pembangunan Fisik dan
Seni
Kemajuan bidang seni arsitektur
ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah Isfahan
sebagai ibu kota kerajaan ini. Sejumlah masjid, sekolah, rumah sakit, jembatan
yang memanjang diatas Zende Rud dan Istana Chihil Sutun. Kota Isfahan juga
diperindah dengan kebun wisata yang tertata apik. Ketika Abbas I wafat, di
Isfahan terdapat sejumlah 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273
pemandian umum. Unsur lainnya terlihat dalam bentuk[6]
kerajinan tangan, keramik, permadani dan benda seni lainnya.
4. Bidang tarekat
Sebagiamna
diketahui bahwa cikal bakal kerajaan safawi adalah gerakan sufistik, yaitu
gerakan tarekat.oleh karena itu, kemajuan dibiadang tarekat pun cukup maju.
Bahkan gerakan tarekat masa kini tidak berpikir di biadang keagamaan, tetapi
juga dalam di bidang politik dan bidang pemerintahan.
5. Bidang arsitektur
Penguasa
kerajaan safawi telah berhasil mencitakan Isfahan, ibukota kerajaan menjadi
kota yang sangat indah. Dikota isfahan ini berdari bangunan-bangunan besar
berarsitektur yang bernilai tinggi dan indah seperti masjid, rumah sakit,
sekolah, jembatan, raksasa di atas Zede Rud, dan istana Cihil Sutu. Dalam kota
Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273 pemandian
umum.
D. Dinasti Qojar
Iran
era modern bermula dengan tampilnya rezim Qajar. Qajar meraih kekuasaan setelah
melewati periode anarkis dan pergolakan kesukuan untuk merebut kekuasaan atas
negara Iran. Dinasti ini menguasai Iran mulai tahun 1794 sampai tahun 1925
dengan rezim memusat yang lemah karena berhadapan dengan faktor-faktor kesukuan
propinsional yang kuat, dan merupakan rezim di mana tingkat independensi
keagamanannya yang sangat tinggi. Rezim Qajar tidak pernah terkonsolidasikan
dengan baik. Angkatan bersenjata Qajar terdiri dari sejumlah kecil pasukan
pengawal Turkoman dan sebagaian besar budak-budak Georgia. Pemerintahan pusat
Qajar merupakan pemerintahan istana yang terlalu lemah untuk mengembangkan
secara efektif sistem pemerintahan. negara ini. Beberapa propinsi yang mereka
kuasai terpecah belah menjadi sejumlah faksi kesukuan, etnik, dan faksi lokal
yang dikepalai oleh tokoh-tokoh kesukuan-lokal mereka. Rezim baru tersebut sama
sekali tidak pernah mencapai tingkat legitimasi yang sebelumnya pernah dicapai
pemerintahan Safaviyah dan tidak pernah menegakkan kekuasannya secara penuh.
Ketidakpuasan
yang semakin meningkat terhadap kemandulan serta korupsi dalam kerajaan,
seiring dengan kekecewaan terhadap dominasi ekonomi bangsa asing dan tekanan
politik imperialis, menemukan ekspresinya dalam bentuk gerakan massa. Revolusi
Bab yang terjadi pada tahun 1844 dapat dipadamkan oleh Penguasa Qojar, akan
tetapi gerakan tersebut mewariskan sebuah tradisi revolusi yang mengambil
bentuk dari berbagai sekte religius seperti gerakan Bahai. Gerakan massa
meletus kembali sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan politik luar
negeri Qajar yang menghadiahkan konsesi kepada Perusahaan Tembakau Inggris.
Berawal dari sebuah kekecewaan lantas berubah menjadi gerakan yang menyebar
luas dan kerusuhan yang merebak di berbagai tempat yang berbeda. Hasil gerakan
radikal ini yang paling utama adalah tuntutan akan reformasi konstitusional,
yang diimplementasikan pada tahun 1906.
Gerakan revolusi ini
menuntut reformasi yang demokratis, dipimpin oleh sebuah aliansi tak tetap dari
kelas pedagang dan institusi religius yang mendapatkan dukungan mereka dari
para bazâri (pekerja dan pedagang), para penjaga toko dan unsur kelas
yang lebih rendah. Monarki dipaksa untuk merumuskan sebuah konstitusi dimana
hak-hak borjuis-demokrat, seperti kebebasan berbicara, kemerdekaan berkumpul
dan berserikat dianugerahkan dan pedagang serta para saudagar diberi hak-hak
perwakilan dalam majelis (parlemen) secara terbatas. Gerakan ini juga menuntut
pembaharuan konstitusional guna membatasi kekuasaan mutlak kerajaan. Namun,
meskipun kekuatan ini membangkitkan gerakan nasionalis awal dan perlawanan
terhadap tekanan pihak asing, Iran, sebagaimana kebanyakan negara Muslim
lainnya, tetap mengalami pengaruh imperialisme Eropa:
That state have come to the
semi-colone place from first until now people Belgia run on duty tollbooth …
all heroic of Swedia master the state police … all Russia army fulfill the
baracs … people Hungaria manage the exchequer … Dutch nation have and operate
the single telegraph channel .. and big industrial operations ( textile).
(Negara
itu telah menjadi semikoloni tempat dari dulu hingga sekarang orang-orang
Belgia menjalankan dinas pabean … para perwira Swedia menguasai polisi negara …
para tentara Rusia memenuhi (barak-barak) … orang-orang Hungaria mengurusi
perbendaharaan … bangsa Belanda memiliki dan mengoperasikan satu-satunya
saluran telegraf .. dan operasi-operasi industri besar (tekstil).)
Berbagai aksi protes
publik tersebut mengantarkan pada penyelenggaraan sidang dewan konstituante nasional
pada 1906. Keanggotaan konstituante tersebut, 26 persen dari kalangan tokoh
artisan (pengrajin), 15 persen dari kalanga pedagang, dan 20 persen dari
kalangan ulama. Dewan ini mencerminkan sebuah koalisi antara ulama, pedagang,
dan kelompok liberal didikan Barat, menciptakan konstitusi yang secara resmi
tetap berlalu sampai tahun 1979.
Pemberlakuan konstitusi tersebut justru merupakan awal dari sebuah
pergolakan yang berkepanjangan. Kubu konstitusionalis yang didukung oleh ulama,
pedagang, artisan, dan tokoh-tokoh suku Bakhtiyati ditentang oleh Syah, ulama
konservatif, dan oleh tuan-tuan tanah yang kaya raya dan juga kaki tangan
mereka. Berkobarlah serangkaian konflik sengit yang sering menjurus kepada
pertempuran fisik. Pada 1907 dan 1908, Syah menggunakan Brigade Cossack untuk
membubarkan parlemen dan kalangan konstitusionalis menduduki kekuasaan antara
1909-1911.
Negara Iran modern
lahir dari sebuah periode anarkis yang berlangsung dari tahun 1911 sampai 1925.
Selama periode ini intervensi asing mencapai puncaknya. Dalam Perang Dunia I
tentara Rusia dipusatkan di beberapa propinsi bagian utara, sedangkan pasukan
Inggris menduduki wilayah bagian selatan Iran. Dengan hancurnya rezim Tsaris
pada tahun 1917, seluruh wilayah Iran jatuh ke tangan Inggris, dan dengan
perjanjian Anglo-Parsian tahun 1919, menjadikan Iran sebagai pemerintahan
protektorat Inggris. Pada saat bersamaan Rusia
mendukung gerakan kelompok separatis di Jilan dan Azerbaijan dan Partai Komunis
di Tabriz dan Teheran. Sekalipun demikian, Inggris dan Rusia menyepakati
perjanjian kerjasama dengan beberapa persyaratan yang menguntungkan pihak Iran.
Rusia sepakat untuk menarik diri dari Jilan dan menutup hutang dan konsesi
Iran, dan menyerahkan kembali hak-hak khusus yang sebelumnya telah diberikan
kepada pihak asing di Iran. Rusia bersedia menyediakan industri penangkapan
ikan di laut Caspia dan berhak untuk melibatkan diri manakala Iran terancam
oleh kekuatan asing lainnya. Dengan dukungan perjanjian baru ini, Iran
membatalkan perjanjian 1919 dengan Inggris yang berat sebelah.
Pada 1925 Dinasti Qajar
ditumbangkan oleh Dinasti Pahlevi. Terdapat faktor internal dan eksternal yang
menyebabkan hal ini terjadi. Faktor internal yang paling menonjol adalah
lemahnya pemerintahan pusat dan terjadinya pemberontakan-pemberontakan lokal.
Berbagai pemberontakan itu tidak mampu dibendung dan diredam oleh pemerintahan
pusat sebagai pengendali utama keamanan, semakin lama pemberontakan itu
menggerogoti kekuasaan Dinasti Qajar dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok
tertentu untuk berlawanan dengan kekuasaan Dinasti Qajar.
Faktor eksternal yang
muncul adalah pecahnya Perang Dunia I yang menjadikan Iran sebagai arena
pertempuran, walaupun secara politik posisi Iran dalam perang itu adalah
netral. Rusia ngotot untuk mempertahankan cadangan minyak di Baku dan Laut
Kaspia. Tentara Rusia terlibat dalam pertempuran sengit dengan tentara Turki
di Iran barat laut. Imperialis Inggris, di pihak lain, mempertahankan
kepentingan mereka di ladang minyak Khuzistan. Situasi pelik dan kacau demikian
itu menyulut Sayid Ziauddin Taba Tabai, seorang politisi Iran, dan Reza Khan,
seorang perwira kavaleri, memanfaatkan situasi untuk melancarkan [7]pemberontakan
atas dinasti Qajar.
Tabel
perbandingan dinasti Safawi dan Qojar
Peradadaban Dinasti Safawi
|
Peradadaban Dinasti Qojar
|
a. Dinasti Safawi
berasal dari
sebuah gerakan tarekat yang berdiri di daerah Ardabil kota Azerbaijan.
Tarekat ini bernama Safawiyah sesuai dengan nama pendirinya Safi Al-Din,
salah satu keturunan Imam Syi'ah yang keenam “Musa al-Kazim”. Pada awalnya
tarekat ini bertujuan memerangi orang-orang yang ingkar dan pada akhirnya
memerangi orang-orang ahli bid'ah. Tarekat ini menjadi semakin penting
setelah ia mengubah bentuk tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang
bersifat lokal menjadi gerakan keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia,
Syiria dan Anatolia. Dalam perkembangannya Bangsa Safawi (tarekat Safawiyah)
sangat fanatik terhadap ajaran-ajarannya. Hal ini ditandai dengan kuatnya
keinginan mereka untuk berkuasa karena dengan berkuasa mereka dapat
menjalankan ajaran agama yang telah mereka yakini (ajaran Syi'ah). Karena
itu, lama kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah menjadi tentara yang
teratur, fanatik dalam kepercayaan dan menentang setiap orang yang bermazhab
selain Syiah.
b. Awal berdirinya Dinasti safawi
Pada tahun 1252-1334 M, nama
pendirinya adalah shafi Ad-Din.
c. Kemajuan-kemajua yang di capai dinasti
safawi
Ø Bidang Ilmu pengetahuan
Ø Bidang Ekonomi
Ø Bidang Arsitektur
Ø Bidang kesenian
Ø Bidang Tarekat
Ø Bidang pembangunan Fisik dan seni.
|
a.
Dinasti
Qojar
Iran era modern bermula dengan
tampilnya rezim Qajar. Qajar meraih kekuasaan setelah melewati periode
anarkis dan pergolakan kesukuan untuk merebut kekuasaan atas negara Iran.
Dinasti ini menguasai Iran mulai tahun 1794 sampai tahun 1925 dengan rezim
memusat yang lemah karena berhadapan dengan faktor-faktor kesukuan
propinsional yang kuat, dan merupakan rezim di mana tingkat independensi
keagamanannya yang sangat tinggi. Rezim Qajar tidak pernah terkonsolidasikan
dengan baik. Angkatan bersenjata Qajar terdiri dari sejumlah kecil pasukan
pengawal Turkoman dan sebagaian besar budak-budak Georgia. Pemerintahan pusat
Qajar merupakan pemerintahan istana yang terlalu lemah untuk mengembangkan
secara efektif sistem pemerintahan.
b.
Dinasti
Qojar tidak bertahan lama
Pada 1925 Dinasti
Qajar ditumbangkan oleh Dinasti Pahlevi. Terdapat faktor internal dan
eksternal yang menyebabkan hal ini terjadi. Faktor internal yang paling
menonjol adalah lemahnya pemerintahan pusat dan terjadinya
pemberontakan-pemberontakan lokal. Berbagai pemberontakan itu tidak mampu
dibendung dan diredam oleh pemerintahan pusat sebagai pengendali utama
keamanan[8],
semakin lama pemberontakan itu menggerogoti kekuasaan Dinasti Qajar dan
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk berlawanan dengan
kekuasaan [9]Dinasti
Qajar.
|
DAFTAR
PUSTAKA
Samsul Munir
Amin, sejarah peradaban islam,
jakarta: AMZAH, 2010, hlm. 187.
http://wikipedia,
dinasti Qojar. Com
Hasan Ibrahim Hasan, sejarah dan kebudayaan islam, Yogyakarta: kota kembang, 1987, hlm.
336.
Saifullah, sejarah dan kebudayaan islam,
Pustakapelajar, Yogyakarta, 2010.
Badri Yatim, sejarah
peradaban islam, jakarta: PT Raja Grafindopersada, 2010, hlm. 138.
Ajid Thohir, Studi
Kawasan Dunia Islam, Jakarta, Raja GRafindo,
2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar